Senin, 31 Desember 2012

milad yayangq..ke 30...

milad mubarak cintaq... semoga umur yang makin berkurang ini menjadikan kita sepasang kekasih yang makin pandai menghargai WAKTU,mengoptimalkan usaha kita dalam mencari bekal pulang kelak, ke kampung akhirat, semoga ku tetap menjadi bidadarimu disana.. I.Allah.. amin..
anak2 kita cinta.. kertas putih itu menanti abi dan ummi yang BIJAK , yang akan menggoreskan berjuta bahkan bermilyar tinta2 kebaikan dalam diri mereka.anak2 kita cinta......amanah Allah yang akan dimintai pertanggung jawabannya kelak... inginku tetap membersamaimu membangun RUMAH CINTA itu... rumah cinta kita yang menjadikan rasulullah teladannya..yang kelak dari dalamnyalah di lahirkan calon2 PEMIMPIN UMAT.
ALLAHUMMA AMIN...
yayangq..siap dengan semua draft impian kita untuk tahun ini..??ku tunggu tantanganta'.hehehehe kita berfastabiqul khirat to'...
uhibbuka fillah cintaq Ibnu Abdullah Pawaly

Jumat, 28 Desember 2012

lucunya faqih...



faqih keukeuh gak mau diajak mewarnai gambar sama kakak qania.eh...qania marah dan memaksa faqih untuk memegang pensil warna dan crayon,,,si kakak kepengen banget ade'nya bisa pinter seperti dia,faqih mulai menangis,,, tapi tidak di gubris oleh qania, tumben2 ajah sore itu faqih tidak melawan ketika dipaksa, ternyata eh ternyata....faqih yang "agak lain2" sore itu,melarikan diri me"nyamperin abinya", anak gantengq itu sudah mulai terisak, ketika ia bilang ;abi.. kaka qania napaksaki mewarnai na tidak mauki'.abinya bertanya; kenapa memang faqih tidak mau???
dengan wajah polos dia menjawab,,, abi,,,mau sekalimka kodong e'e' (BAB).tidak bisami q tahan,, jadi tidak mauka mewarnai dulu,,nanti e'e' celanaka.sudahpi e'e' baruka mau mewarnai lagi...
tanpa komando saya dan abinya tertawa terpingkal2 menyaksikan kepolosan putra ke2 kami itu, sementara di sudut sana,, ada kaka qania yang juga sedang menahan tawanya,,hehehehe faqi...faqih.. ada ada ajjah..
Suka · · · beberapa detik yang lalu

Selasa, 27 November 2012

bismillah...
at special day
27 nov 2012

ingatkah kau cinta???
ba'da ashar bertabur cinta ....
dan sore yang mendung 8 tahun yang lalu???
saat hati masing2 kau dan aku sedang dag,dig,dug, tak karuan.
menunggu detik demi detik waktu yang begitu lambat yang mengantarkan kita pada perjanjian seagung perjanjian para naabi dan rasul,

tepat pukul 16.30 wita, akadpun terucap,
seketika....
ku pun menjadi bidadarimu
dan kau pun menjadi qawwamq..
haru....
haru betul hari itu,
perasaan kita begitu campur aduk..bukan begitu cinta???
seperti....mmmmm... seperti nano2 saja.

sedetik kemudian..
aq seperti tak sabar menanti sosokmu.
yang akan datang dihadapanku,,
membawa maharq...

tp tiba2...
saat q berusaha menemukan wajahmu dalam memoriku,
ajaib,,,,
tak ada satupun file yang menyimpannya.
aq jadi pelupa,
tak bisa q ingat walau 1 centi dari wajahmu yang begitu teduh.
aq mulai berkeringat dingin..


pun ketika kucium taakzim
tanganmu untuk pertama kali..
tiba2 q temukan diriku menjadi begitu pengecut,
kepala ini seolah tak mau diajak kompromi untuk sedikit saja menengok sosok yang beberapa menit yang lalu saah menjadi suamiq.
ah..ada apa aku cinta??????
padahal hatiq begitu riang,seperti bertepuk taangan.mengucapkan selamat dan doa.

uhibbuka fillah yayangq...
my lovely husband ABDUL.RAUF.ABDULLAH PAWALY


ruang diklat pukul 10.00.
maafkan aq cinta...
tak bisa bersamamu hari ini.
di hari jadi kita
hanya bisa mengirimkan sms pendek ini...

selamat...sahabatq...



bismillah.. ingatkah kau sobat?? hari itu, dengan mata berbinar2 penuh suka cita, aq bercerita padamu tentang mimpi indahq semalam??aq bermimpi kau menikah dengan seorang lelaki shaleh. yang begitu mencintaimu.dia membawamu kesebuah tempat yang begitu indah..kau terlihat begitu bahagia.walaupun dia seorang duda.tp duda yaang shaleh candamu.kau rawat dia dengan penuh cinta,layaknya seperti ituseharusnya seorang istri.pun dengan anak2 suamimu, yang telah mjd anak2 juga.


dan hari ini...kau tahu??? mimpi itu seolah menapaki dirinya, akan berubah menjd kenyataan...apakah kau mau sahabatq??? jemputlah ia, qawwammu.. aq teramat ingin melihat senyum bahagia itu di wajahmu. semoga hidupmu kedepan seindah mimpi itu, mimpi yang membuat kau dan aku tersenyum tak henti2. Allahumma amin...


my dear; mukhbitha mansur
jangan galau tingkat dewa lg.kt ophy...

Jumat, 23 November 2012

ikhlas......



2 bulan lebih seminggu.sejak fisik saya sudah tidak di spidi lg.hari ini saya berjanji untuk betul2 mengiklaskan semuanya.peristiwa hari itu membuat saya 2 bulan terakhir seperti tubuh tanpa ruh.whats wrong??karna saya sangat mencintai mereka, anak2 santri yang sudah seperti anak kandung saya sendiri.hanya itu alasannya???tidak..bukan sekedar cinta,tapi cinta karna Allah,
belum banyak yang bisa saya lakukan untuk mereka.dibanding dengan banyaknya rencana2 saya untuk mereka.saat itusy memposisikan diri sebagai ibi mereka,saya ingin mereka mendapatkan pendidikan agama terbaik dari pesantren ini.saya ingin mereka mempunyai bekal yang cukup untuk menghadapi tantangan zaman kedepan.tantangan gazwul fikr dari musuh2 islam.ketika keluar dari pesantren.
tapi hari itu, pertenghan bulan september yang mendung,saya seperti di lempar keluar dari rumah saya sendiri.perasaan saya seperti dipaksa untuk meninggalkan anak2 saya.saaya diusir secara halus,itulah perasan saya hari itu.apa yang terjadi???tidak ada.kecuali sebuah misscomunication.
saya sedang diujioleh Allah, cuma itu keyakinan saya,
separuh hatiku seperti ditawan oleh santri2q,saya begitu tersiksa tidak melihat mereka walau sehari saja.begitu banya k kekhawatiran yang membayang2i.ketika perasaan rindu kepada mereka datang,saya hanya mampu menangis.mencurahkan segala resahq kepada  SAng pemilik hati ini.Allah AzzaWjal.
hari2 saya lalui dengan berlembar2 suraaaat yang datang tiap hari dari mereka. suara hati yang berteriak2 memanggil, "bunda....pulangki'rindu semuaki disini, bunda...janganki pergi.mulai dari nada yang lembut smp yang mengancam. bunda..kalau tidak kembaliki ke spidi ,saya yang akan keluar???.saya tak mampu melanjutkan,dari hampir 200 surat itu tak ada yang bisa qselesaikan .memori2 kebersamaan dengan mereka mulai menari2 indah di benak ini,membuat saya kadang tak bs mengontrol air mata yang semakin menganak sungai.
"ah..anak2.. uhibbukunna fillah.jadilah anak2 remaja putri y shalehah calon2 ibu teladan.doa bunda bersama kalian..




to be cintinue...

rumah cinta 23november

Kamis, 22 November 2012



bismillah... allahumma ya Rabb...berkahilah penat ini...semoga tiap air mata yang keluar, peluh yang bercuuran .menjadi saksi perjuangan kami di jalan da'wah ini...Allahumma amin..

Rabu, 11 April 2012

mari nyalakan lilin


Apa arti sebuah lilin dalam kehidupan ? Mungkin ini terlalu dipertanyakan. Sebab lilin hanya sebuah benda kecil. Kegunaannya baru tampak manakala lampu listrik padam. Tapi lilin adalah cahaya. Dan cahaya adalah sebentuk materi. Kebalikannya adalah gelap. Gelap bukan materi, ia tak memiliki daya. Ia adalah keadaan hampa tanpa cahaya. Karena itu, meskipun kecil, lilin selalu dapat mengusir gelap. Allah memisalkan petunjukNya dengan cahaya, dan kese- satan sebagai gelap. Ini mengisyaratkan, pasukan kese- satan tidak memiliki sedikitpun daya di depan pasukan cahaya. Ia hadir manakala pasukan cahaya menghilang. Sepanjang sejarah, ummat mengalami kesesatan, ketika roda "harokah da'wah" berhenti bergerak. Disini tersirat sebuah kaidah da'wah. Bahwa gelap yang menyelimuti langit, sebenarnya dapat diusir dengan mudah, bila kita mau menyalakan lilin da'wah. Berhentilah mengu- tuk gelap. Ia toh tak berwujud dan tak berdaya.Tak ada yang dapat kita selesaikan dengan kutukan. Sama halnya dengan ratapan di hadapan bencana. Tak ada guna, sia-sia. Masih ada sikap lain, yang ijabiah (positif), dalam menghadapi realita. Kenyataan yang paling buruk sekalipun tak boleh melebihi kapasitas jiwa dan iman kita untuk menghadapinya. Ini resep kita. Maka, dalam gelap lebih baik menutup mata lalu nyalakan lilin dan katakanlah dengan suara mantab, "telah datang kebenaran. Sesungguhnya kebatilan itu pasti sirna". hasbunallah wani'mal wakil, wassalamu'alaikum wr.wb.

Selasa, 10 April 2012

Kisah di Balik Faedah Ayat Kursi

Diriwayatkan bahwa Ubay bin Ka’ab memiliki sebaskom kurma (yang sedang dikeringkan). Tiba-tiba saja kurma tersebut berkurang. Maka suatu malam dia menjaga kurma tersebut berkurang. Maka suatu malam dia menjaga kurma tersebut, ternyata datang sesosok makhluk yang mirip dengan seorang anak kecil yang sudah baligh, lalu dia memberi salam kepada Ubay, maka Ubay pun membalas salamnya, dan bertanya, “Siapa kamu, jin atau manusia?” Dia menjawab, “Bukan, saya dari bangsa jin”. Ubay berkata lagi, “Serahkan tanganmu!”
Lalu jin tersebut menyerahkan tangannya, ternyata tangannya seperti anjing dan rambutnya seperti rambut (bulu) anjing. Ubay berkata, “Beginikah bentuk jin itu?” Jin tersebut menjawab, “Engkau telah mengetahui bentuk jin, bahkan di antara mereka ada yang lebih jelek dariku.”
Ubay bertanya kembali, “Lalu apa yang mendorongmu datang ke mari?” Ia menjawab, “Telah sampai kepada kami berita bahwa engkau suka bersedekah, maka kami datang untuk mendapatkan bagian kami dari makananmu.”
Lantas Ubay bertanya, “Apa yang bisa membuat kami selamat dari (gangguan) kalian?” Ia menjawab, “Ayat ini, yaitu yang terdapat dalam surat Al-Baqarah: Allahu Laa Ilaaha Illaa Huwal Hayyul Qayyuum…(Ayat Kursi, Surat Al-Baqarah:255)
(Allah, tidak ada Ilah melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya)
Barangsiapa membacanya di waktu sore maka dia akan selamat dari gangguan kami hingga pagi hari, dan barangsiapa yang membacanya di waktu pagi maka ia selamat dari gangguan kami hingga sore hari.”
Ketika pagi hari, Ubay bin Ka’ab melaporkan kejadian tersebut kepada Rasulullah SAW maka beliau bersabda, “Jin laki-laki tersebut telah berkata benar”

Senin, 09 April 2012

Tips Memilih Produk yang Aman Saat Belanja

 
Last Update : 2011-12-09 17:10:18






Jika pergi ke supermarket, kita disodori dengan ribuan produk yang bisa kita pilih. Masing-masing menawarkan keistimewaannya sendiri. Banyaknya pilihan produk tentu saja menyenangkan karena berarti kita bisa mendapatkan produk bermutu dengan harga yang bersaing. Namun, banyaknya pilihan produk terutama produk makanan tersebut tidak seyogyanya serta merta membuat kita lengah dalam mencari ”kualitas” yang terbaik.

Kami mempunyai tips sederhana ketika akan membeli produk makanan untuk keluarga. Ini tips-nya:

1.    Jangan lupa perhatikan tanda Halal dari MUI, dimana logo Halal yang terbaru sudah mencantumkan logo MUI (warna hijau/hitam) yang disertai nomor sertifikat di bawah label tersebut.
2.    Jika membeli makanan kemasan, jangan lupa perhatikan Tanggal Kadaluarsa, Ijin Produksi dan Nama Produsen yang jelas.
3.    Pastikan konsumsi makanan Anda memenuhi kriteria ”seimbang” antara karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral yang bisa Anda dapatkan dari nasi, sayur mayur, kacang kacangan, daging, buah-buahan dan produk susu (nabati / hewani).
4.    Hindari membeli makanan yang Anda tidak yakin higienitas, keaslian bahan bakunya atau proses produksinya.
5.    Lebih baik mengkonsumsi produk makanan yang segar daripada yang sudah dikalengkan / olahan. Jika memang terpaksa mengkonsumsi makanan olahan karena butuh kepraktisan, lebih baik tidak terlalu sering karena makanan olahan biasanya menggunakan bahan pengawet yang meskipun digunakan dalam ambang aman, tetapi penumpukannya di tubuh kita sebaiknya dihindari. Sebenarnya ada produk olahan yang memang tidak menggunakan bahan kimia sama sekali, sehingga diperlukan kejelian Anda untuk memilihnya.
6.    Meskipun banyak orang merasa ketagihan mengkonsumsi mie instan, sebaiknya hindari atau kurangi sedapat mungkin mengkonsumsinya karena telah banyak dibahas sebagai produk yang tidak sehat (adanya pengawet, serta zat aditif lain). Jika ingin mengkonsumsi mie, pastikan tidak mengandung bahan kimia/aditif yang merugikan kesehatan.
7.    Hindari atau kurangi mengkonsumsi produk beku, misalnya daging sapi, hati dll karena kita tidak tahu pasti sudah berapa lama produk tersebut disimpan atau apakah produk beku tersebut sudah pernah ter "defrost" (terlelehkan) dan dibekukan kembali, karena sangat tidak sehat untuk tubuh kita. Oleh sebab itu, jika memang akan membeli produk seperti itu, lebih baik membelinya di gerai/outlet yang Anda percayai yang dapat memberi jaminan keamanan produk.
8.    Jika membeli daging pilih yang rendah lemak dan hindari jeroan. Meskipun lemak dan jeroan berasa gurih, namun karena ”kejelekannya” lebih banyak dibandingkan dengan ”manfaatnya” buat tubuh Anda, maka sebaiknya konsumsinya dikurangi. Untuk daging giling, pilih yang bermutu baik dengan sedikit lemak. Jika tidak yakin, lebih baik Anda menggiling sendiri daging bagus pilihan Anda.
9.    Pastikan kemasan masih utuh dan tidak menggelembung (makanan kalengan). Jika dikemas di wadah plastik, pastikan plastiknya ”food grade” (biasanya tertera tulisan PET 1 dalam lambang segitiga berpanah).
10.    Pastikan makanan tidak berjamur (aflatoxin berwarna kuning orange), misalnya pada ikan asin atau daun/biji/teh yang dikeringkan.
11.    Pastikan makanan bebas bahan pengawet, pewarna atau kimia lain yang berbahaya. Jika sulit untuk membuktikan adanya kandungan kimia yang berlebihan/berbahaya, maka sebaiknya Anda membeli produk yang Anda inginkan dari outlet/produsen yang Anda percayai.
12.    Hindari memilih makanan yang Anda rasa warnanya tidak ”wajar” alias ”mencolok” misalnya saos tomat/sambal yang terlalu merah dll.
13.    Hindari membeli makanan yang berbau tidak ”wajar” karena mungkin sudah tidak segar, atau diberi pengawet yang mungkin berbahaya.
14.    Hati-hati memilih produk makanan yang harganya sedang diskon karena biasanya waktu kadaluarsanya sudah dekat. Pastikan Anda memilih yang masih bagus.
15.    Hindari atau kurangi mengkonsumsi produk yang Anda curigai banyak ”terexpose” oleh zat yang tidak sehat, misalnya ayam atau produk peternakan lain yang seringkali diberi antibiotik semasa budidayanya.
16.    Jika Anda menggemari teh, sebaiknya pilih yang berbentuk daun untuk direbus, karena masih tingginya kontroversi teh yang menggunakan kantong celup (ada yang dicurigai menggunakan bleach).
17.    Kurangi konsumsi makanan gorengan, apalagi yang dikemas, karena minyak goreng yang telah teroksidasi karena lama tersimpan, sangat tidak baik untuk kesehatan Anda.
18.    Sebaiknya tunda membeli makanan yang sedang dilanda issue saat itu, misalnya pernah ada wabah ”mad cow” atau ”flu burung”.
19.    Sebaiknya hindari produk yang Anda curigai berasal dari hasil rekayasa genetika, misalnya sayur yang terlalu besar dll.
20.    Hindari penggunaan wadah styrofoam untuk makanan terutama yang panas. Saat ini telah banyak produsen makanan/restoran yang tidak lagi menggunakan bahan ini untuk wadah makanannya karena menyadari bahayanya.
21.    Sedapat mungkin membeli produk yang dihasilkan oleh industri/UKM dalam negeri, karena berarti membantu meningkatkan pendapatan masyarakat dan memperkuat posisi ekonomi negara kita.

Meskipun sepertinya menjadi repot memilih produk, tetapi sikap kehati-hatian seperti ini sangat bermanfaat untuk menjaga kesehatan Anda sekeluarga dalam jangka panjang. Lebih aman memang memilih produk alami / organik karena meskipun produk sehat seperti ini biasanya lebih mahal, tetapi masih lebih murah dibanding jika Anda harus pergi berobat karena penyakit yang disebabkan oleh konsumsi produk yang serampangan. Happy Shopping...

Dengan Ibu, Semua Akan Beres

 
Last Update : 2012-01-17 11:54:12






Bungkus beng-beng yang lengket membuat kursi menjadi kotor, lengket dan sepertinya tidak akan bisa diduduki oleh siapapun yang akan bertamu ke rumah kami. Ini pasti kerjaan Rayhan si kecil yang asyik makan beng-beng dan membuang bungkusnya sembarangan. Bukan hanya itu, mangkuk bekas makan indomie rebus yang tersisa kuahnya sedikit, oleh sang kakak si pemilik mangkuk, dibiarkan begitu saja menggeletak persis di bawah meja dekat televisi.  Dan lagi-lagi, ibu harus mengangkatnya lalu membersihkannya. Dengan membungkuk-bungkuk kesana kemari, dalam sekejap ruangan televisi yang biasa digunakan untuk anak-anak menghabiskan waktunya setelah pulang sekolah pun menjadi bersih dan rapih dibuat ibu.

Sebentar kemudian, ibu berbalik menuju kamar Andi sang kakak sulung, yang juga meletakan sepatu bolanya di bawah tempat tidur serta sepasang kaus kaki berserakan, satu diujung meja dan satu lagi ada dibawah tempat tidur. Lalu dengan gesitnya ibu membereskan semuanya. Dalam waktu kurang dari setengah jam, kamar Andi pun menjadi bersih dan rapih. Ibu kemudian ke dapur, dan tak lama ibu sudah asyik dengan pekerjaannya, menyediakan masakan yang sedap-sedap, dari sup telur burung puyuh, ayam goreng, sampai perkedel, kerupuk dan lalapan serta sambal ditambah telur mata sapi yang dibubuhi kecap manis untuk si kecil. Dan tidak lama kemudian semua makanan pun sudah siap di santap di meja makan.

Mata ibu pun melihat ke arah sepeda anak-anak yang tegeletak di dekat garasi. Tentu saja bila ayah pulang, sepeda anak-anak akan membuat mobil ayah terhalang untuk dapat diparkir dengan tenang. Ibu kemudian merapihkan tiga sepeda dan meletakkannya dengan manis dipojok garasi. Tempat sampah juga tak luput dari sentuhan ibu, dengan gesit, ibu mengganti isi tempat sampah dengan plastik baru sehingga tempat sampah menjadi bersih kembali.

Ibu sendiri nampak puas dengan hasil kerja ibu. Memang ditangan ibu, rumah selalu beres dan dengan cepat semua pekerjaan di rumah menjadi beres ditangan ibu. Bukan hanya itu, ibu pun dapat menyelesaikan pekerjaan dengan waktu yang singkat, rapih dan sesuai dengan yang ibu inginkan. Dengan ibu, semua menjadi beres.

Namun hal yang mungkin ibu lupa. Bila ibu membereskan semuanya dan menyiapkan semuanya, apakah anak-anak akan berpikir bahwa tidak apa-apa memberantakan semua barang, menaruh mangkuk indomie di sembarang tempat, meletakkan celana panjang training yang bekas dipakai diatas tempat tidur yang sudah bersih, karena toh ada ibu yang akan membereskan.
Ibu memang membereskan semua yang tidak pada tempatnya dan mengerjakan semua yang ada di rumah dengan senang hati walau tentu saja rasa lelah pasti ada. Ibu memang membereskan semuanya, namun ibu lupa bahwa anak harus diajarkan mandiri agar ketika ibu sudah tidak ada maka anak-anak akan mampu mengerjakan semuanya sendiri tanpa bantuan ibu.

Di luar negeri, semua anak memiliki tanggungjawab masing-masing dalam keluarganya. Mereka sudah di didik untuk mandiri, mengerjakan apa-apa sendiri, dan sejak masih kecil sudah biasa bersih, efisien serta membereskan bekas barang yang dipakainya dengan rapih dan meletakkan sesuatu kembali pada tempatnya. Berbeda dengan anak-anak kita di Indonesia, apalagi dengan bantuan adanya pembantu di rumah, maka anak tidak terbiasa mengerjakan apa-apa sendiri, dan  selalu meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya sehingga selalu berantakkan.

Kejadian gunting yang hilang atau charger handphone yang setelah dipegang anak-anak kemudian menjadi hilang merupakan hal yang biasa dalam rumahtangga di Indonesia. Anak-anak tidak diajarkan atau dididik untuk meletakkan kembali barang-barang pada tempatnya, padahal dengan mengajarkan anak-anak untuk disiplin dan mandiri serta mengerjakan perkerjaan rumah, minimal meletakkan kembali mangkuk bekas makan indomie di dapur, akan membuat anak menjadi memiliki tanggung jawab.

Bila ibu selalu membereskan semuanya dan mengerjakan semuanya sendiri, maka anak-anak tidak akan bisa apa-apa. Ketika anak sudah usia remaja dan dewasa tidak bisa apa-apa, ibu akan risau, dan bila ibu risau, berarti tugas ibu akan semakin bertambah bukan semakin beres. Jadi sebetulnya ketika ibu membereskan semuanya sendiri, sebetulnya ibu telah mendidik anak-anaknya untuk menjadi orang yang tidak mampu membereskan apa-apa.

Baca saja, Moga bermanfaat

Tutup mata saja dari semua infotainment yang kerap penuh gosip dan sampah itu. Jangan buang waktu lagi. Cari keterampilan baru tiap hari!


Ada sebuah komunitas di dunia maya yang para anggotanya berlomba ikut mengisi sebuah forum berjudul, I Learned Something New Today. “Aku mempelajari suatu hal yang baru hari ini,” mulai dari sekedar belajar merenda sampai belajar bernafas dalam dengan tenang dan bersantai. Sungguh sebuah kegiatan yang mengasyikkan karena para peserta ditantang untuk terus bisa menyebutkan semua kegiatan yang positif bagi diri mereka dan orang-orang di sekitar mereka, tanpa harus terikat pada bangku sekolah dan ijazah. Banyak di antaranya yang bahkan berfikir bahwa yang tak kalah penting adalah mereka akan bisa menambah daftar hasanat, kebaikan, yang bisa mereka laporkan di Padang Mahsyar nanti insya Allah.

Belajar di Mana?
Sekarang ini banyak sekali berbagai jenis kursus ditawarkan orang, mulai dari sulam pita sampai membuat boneka, namun kebanyakan menuntut biaya yang tidak sedikit. Kalau kita tak mampu membayar, kenapa harus memaksakan diri? Cari saja keterampilan lain yang bisa kita pelajari dengan murah atau bahkan gratis.
Seluruh alam dan seluruh masyarakat di sekitar kita adalah sekolah. Dengan sedikit bertanya, kita akan tahu bahwa Bu Rokayah yang sudah sepuh di dekat rumah Pak RT ternyata pandai menyulam, sementara Bu Hesti yang berjilbab panjang dan jarang keluar rumah justru pandai merawat jenazah. Pak Amir penjaga SD dekat rumah mungkin mau meluangkan waktunya untuk mengajari kita membuat rak-rak boneka cantik, sementara Bu Amir adalah ahli pembuat pastel paling enak sekampung. Anda bisa mengunjungi Bu Amir sambil membawa sepiring somay buatan Anda, lalu meminta dia mengajari Anda cara membuat pastel sementara dia mengajari Anda rahasia pastelnya. Anda bukan saja mendapat ilmu, tapi juga pahala dan manfaat silaturahim sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kalau saja Anda mau meluangkan sedikit waktu, malahan Anda bisa menggerakkan teman-teman Anda dan membangun komunitas-komunitas belajar informal seperti yang kini banyak dilakukan orang-orang Barat yang haus komunikasi personal. Tahukah Anda, di Inggris sekarang bermunculanlah kelompok-kelompok penggemar dan pelajar seni menyulam. Mereka menyebut kelompok-kelompok ini Stitch and Bitch (Menyulam sambil Nggosipin Orang) karena ditandai dengan duduk-duduk santai untuk merenda atau menyulam sambil ngobrol. Kita tentu tidak membutuhkan bitching-nya, tapi jelas kita bisa meniru kegiatan merenda dan menyulam bersama seperti itu.

Belajar Apa?
Bagaimana dengan Anda? Keterampilan baru apa yang Anda pelajari hari ini? Tidak ada keterampilan yang tidak berguna – meski sekedar belajar membuat rumah boneka – kalau kita tahu bagaimana memanfaatkannya. Jangan lupa, mintalah selalu kepada Allah Ta’ala untuk mengaruniakan kepada kita ilmu yang bermanfaat saja.
Di bawah ini ada sederet usul keterampilan baru yang bisa Anda usahakan untuk pelajari, lewat kursus formal atau pun lewat bertanya kepada orang-orang di sekitar Anda. Investasi waktu dan tenaga – mungkin juga dengan sedikit biaya – yang Anda sediakan insya Allah akan berbuah pahala dan banyak manfaat lainnya.

•    Membaca Al Quran dengan makhraj dan tajwid yang sempurna
•    Menghafal Al Quran
•    Menghafal hadist-hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam – semuanya untuk memperoleh tuntunan hidup yang selamat dan lurus di dunia dan akhirat
•    Qira-ah. Belajar membaca Al Quran dengan nada-nada tertentu
•    Mengurus jenazah dan men-shalatkan. Kita tidak tahu kalau suatu saat kita sendiri yang harus mengurus jenazah orang terdekat dengan kita, bukan? Jadi lebih baik siap-siap sekarang.
•    Menggambar dan melukis bunga dan pemandangan alam di atas berbagai medium, mulai dari kertas sampai kaca. Kita tidak tahu barangkali ada bakat tersembunyi yang sudah waktunya dilatih untuk memberi manfaat kepada diri kita dan orang lain.
•    Membuat boneka dari buah cemara atau dari benda-benda lain seperti kain perca dan kertas koran bekas
•    Membuat rumah boneka dari karton atau pun kardus bekas
•    Merias pengantin
•    Berternak ayam atau bebek
•    Membuat pot hias indah
•    Membuat selimut dari beragam kain perca. Anda bisa mengerjakannya bersama dengan teman-teman Anda, dan masing-masing dari Anda boleh menuliskan nama di atasnya sehingga hasilnya adalah sebuah “selimut persahabatan”
•    Membuat keranjang hias untuk hantaran pengantin
•    Menganyam tikar atau keranjang. Di Barat, kegiatan basket weaving ini semakin populer lho!
•    Membuat pot dan benda-benda keramik yang lalu diberi hiasan indah
•    Senam kebugaran
•    Akupunktur
•    Seni pengobatan Islami seperti bekam dan mengolah habbatusauda
•    Seni pengobatan tradisional seperti herbal. Tahukah Anda betapa asyiknya belajar membuat jamu? Coba cari tukang jamu gendong di kampung Anda dan mintalah dia mengajari Anda cara membuat ramuan seperti beras kencur, gula asam dan sebagainya
•    Membuat kebun mini dan terarium di rumah. Di beberapa negara Barat, sekarang banyak orang yang menggemari container gardening yang sebenarnya hanyalah bertanam tomat, herbal, tauge dan sebagainya di berbagai wadah bekas makanan atau pot yang diletakkan di sekitar balkon dan jendela apartemen
•    Membuat kebun di tanah penuh semak belukar di belakang rumah Anda
•    Membuat rak buku dari kayu-kayu tripleks
•    Mengganti ban mobil yang kempes
•    Mendeteksi gangguan mesin yang menyebabkan mobil Anda mogok
•    ....

Anda boleh menambah sendiri daftar ini...

Menemukan Kebahagiaan dalam Shalat Khusyu

 
Last Update : 2012-02-20 13:38:43






Banyak orang menghamburkan uang untuk mencari kebahagiaan yang ternyata semu dan sementara. Mengapa tidak menemukan kebahagiaan sejati dalam shalat yang khusyu’?

Shalat adalah sendi agama dan pangkal ketaatan. Di antara adabnya yang paling bagus adalah khusyu’. Diriwayatkan dari Utsman bin Affan Radhiyallahu  ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, yang artinya: “Tidaklah tiba waktu shalat fardhu kepada seseorang, lalu ia membaguskan wudhu’nya, khusyu’nya dan ruku’nya, melainkan shalat itu menjadi penebus dosa-dosanya yang telah lampau, selagi dia tidak mengerjakan dosa besar, dan yang demikian itu berlaku seterusnya.”( Hadits riwayat Bukhari dan Muslim).

Dalam hadits lain dari Utsman bin ‘Affan juga, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, yang artinya: “Barang siapa shalat dua rakaat, sedang ia tidak mengajak jiwanya bercakap-cakap ketika shalat itu, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.”(Hadits riwayat Bukhari dan Muslim).

Kekhusyu’an Terbaik

Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, salah seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu shalat malam sampai kakinya bengkak. Kemudian ‘Aisyah bertanya, “Mengapa engkau melakukannya sampai begini, padahal dosa-dosamu sudah diampuni Allah?” Maka beliau menjawab, “Afala akuna ‘abdan syakuran?” (Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang bersyukur?) (Hadits riwayat Ibnu Majah).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat malam (sunnah tahajjud) sendirian, bukan main lamanya, tetapi jika shalat fardhu di masjid berjama’ah, beliau mempercepat shalatnya –dengan tetap tuma’ninah- karena memahami keadaan makmumnya yang beragam.

Diriwayatkan dari Muthrif bin Abdillah, anak salah seorang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa bapaknya berkata, “Aku pernah mendatangi Rasulullah, waktu itu aku dapati beliau sedang shalat. Dan aku mendengar tangisnya seperti orang merintih.” (Hadits riwayat Abu Daud)
Salah seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Huzaifah Ibnul Yaman berkata, “Aku pernah shalat bersama Nabi (shalat malam). Beliau membaca surat Al Baqarah, lalu ruku’ ketika sampai pada ayatnya yang ke seratus. Lalu bangun dan menamatkannya (sampai ayat 286) pada rakaat kedua. Kemudian bangun lagi dan membaca Ali Imran, lalu An Nisa. Kalau ada ayat tasbih, beliau bertasbih; kalau ada membaca ayat do’a, beliau berdoa. Lalu ruku’ lama sekali, seakan-akan sama dengan satu rakaat, lalu bangun dan diam agak lama kemudian sujud lama sekali, hampi sama dengan bangunnya.” (Hadits riwayat Bukhari). Berarti pada malam itu beliau membaca lebih dari lima juz dalam shalat.

Salah satu sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abdullah bin Az Zubair, apabila ia sedang shalat, maka seakan-akan dia adalah sebatang pohon karena khusyu’nya. Saat dia sujud lalu ada beberapa ekor burung yang hinggap di punggungnya, maka hal itu tidak membuatnya terusik. Sampai dikatakan bahwa yang bisa mengusiknya adalah jika dia ditimpa runtuhan dinding.

Maimun bin Mahran, seorang shalih dari umat yang terdahulu, mengisahkan bagaimana shalatnya seorang tokoh ulama shalih lainnya di zamannya, yaitu Muslim bin Yassar.

Katanya, “Sekali pun aku tidak pernah melihat Muslim bin Yassar menoleh saat melaksanakan shalat. Suatu kali sebagian bangunan masjid ada yang roboh sehingga orang-orang yang berada di pasar menjadi kaget karenanya. Sementara saat itu pula Muslim bin Yassar berada di dalam masjid sedang shalat, tapi dia sama sekali tidak menoleh..."
                                                  
Bagaimana orang-orang shalih tersebut larut dalam shalat mereka? Orang-orang  yang larut dalam sesuatu adalah mereka yang merasa senang dan bahagia dalam sesuatu itu. Bagaimanakah shalat, ibadah yang merupakan pangkal ketaatan -setelah dua kalimat syahadat- dapat menjadi sesuatu yang menjadi sumber rasa bahagia dan menyenangkan bagi orang-orang tersebut?
Sementara kebahagiaan yang diperoleh secara terus-menerus dari apa yang dilakukan secara berkesinambungan, akan menguatkan mental dan mengokohkan kepribadian. Rasa bahagia yang masuk ke dalam jiwa bersifat alami, apa adanya dan sejati, selama sesuatu itu bukan hal yang merusak seperti narkoba.

Lain halnya dengan narkoba yang secara fisik merusak, yang daya rusaknya menjalar ke otak sehingga ia juga merusak pikiran. Jelas rasa ‘bahagia’ yang ditimbulkannya hanyalah semu, sesaat, setelah itu adalah kesakitan yang luar biasa dan kerusakan parah pada tubuh, hardware dan sofware-nya sekaligus. Sejatinya adalah kesengsaraan. Keduanya bertolak belakang seratus delapan puluh derajat!

Bagaimanakah sebuah rangkaian gerakan, bacaan, dalam sistem iman kepada Allah, mampu membuat seseorang merasa sangat bahagia sehingga ia bisa larut di dalamnya? Sementara tidak sedikit orang yang tidak merasakan apa-apa sesudah melaksanakannya kecuali perasaan yang mengatakan, “Ah, tenang sudah shalat, gak ada beban lagi kalo mau ngapa-ngapain.”

Bahkan ada pula yang merasakan shalat itu beban sehingga jiwanya berbisik, ‘Nanti sajalah dilaksanakan kalau saya sudah tua,’ padahal realita mengatakan bahwa Allah ‘memanggil’ hamba-hamba-Nya bukan hanya dari kalangan usia lanjut, tetapi juga orang muda, remaja, anak-anak, bahkan bayi yang baru lahir.

Rahasia Tuma’ninah

Seorang blogger bercerita dalam blognya tentang pengalamannya berupaya untuk shalat khusyu,’ setelah ia membaca sebuah buku tentang tuntunan shalat khusyu’ yang sekarang sedang popular. Setelah beberapa kali merasa gagal, pada suatu kali shalat subuh tercapai juga apa yang ia ingin rasakan. Shalat dua rakaat itu tanpa terasa ia lakukan sangat lama dari biasanya.

Untuk pertama kalinya ia merasa larut dalam shalatnya, merasakan kehadiran Allah, Merasakan bahwa ruhnya turut shalat bersama jasadnya. Merasakan keagungan Allah dan kerendahan diri. Air mata meleleh. Tangisan tulus dari ruh yang turut shalat, bertakbir, bergerak dan membaca sebagaimana yang dilakukan jasad. Ia merasakan shalatnya kali ini betul-betul dilaksanakan dengan tuma’ninah.

Tulisan itu mendapat lebih dari seratus tiga puluh respon yang pada umumnya menyatakan senang dengan tulisan sang blogger.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mewajibkan umatnya untuk membaca surat-surat yang sangat panjang dalam shalat seperti yang beliau lakukan pada shalat malam (tahajjud). Siapa pun boleh memilih surat panjang atau pendek untuk ia baca di dalam shalatnya, terutama jika shalat dilakukan sendirian seperti pada umumnya shalat sunnah.

Akan tetapi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam betul-betul berpesan agar bersungguh-sungguh mendirikan shalat; yaitu shalat yang dilakukan bukan sekedar melaksanakan kewajiban, tetapi shalat dengan sepenuh jiwa sehingga ia mampu mencegah pelaksananya dari perbuatan buruk, keji dan munkar, dan mendorongnya untuk berbuat baik. Kualitas shalat seperti ini hanya akan diperoleh jika dilakukan dengan khusyu’. Untuk memperoleh khusyu’ itulah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat tentang satu hal: tuma’ninah.
Apakah tuma’ninah itu? Ia adalah sikap diam sejenak dan tenang setiap kali seorang yang sedang shalat (mushalli) sudah melaksanakan suatu gerakan shalat dan/ atau membaca suatu bacaan. Tujuannya adalah agar pikiran yang ada dalam dirinya ikut bergerak juga bersama gerakan badan, dan ikut membaca serta memahami bacaan yang dibaca.

Gerakan-gerakan shalat adalah simbol-simbol ketundukkan, ketaatan pada Yang Maha Agung, jika jiwa tidak ikut serta, maka ia hanya merupakan gerakan-gerakan kosong tanpa makna. Sedangkan bacaan adalah nasihat-nasihat yang menunjuki dan menguatkan jiwa. Jika jiwa sendiri tidak turut membacanya dengan tulus, maka bacaan itu menjadi seperti igauan tanpa dimengerti oleh orang yang mengucapkannya sendiri karena ia tidak sadar ketika mengucapkannya. Di sinilah esensinya.

Bagaimana Menghadirkan Tuma’ninah?

•    Memahami
Memahami bacaan-bacaan yang hendak dibaca dalam shalat. Orang yang tidak memahami ucapan yang diucapkannya tidak mungkin dapat meresapi makna-makna yang terkandung di dalamnya. Bagaimana mungkin makna-makna itu akan memengaruhi jiwanya, apalagi membangkitkannya? Memahami arti bacaan-bacaan shalat yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang memang nota bene dalam bahasa Arab, haruslah diupayakan dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati.
Membaca terjemahan bacaan tersebut dalam bahasa yang kita mengerti dalam ‘shalat’ tidaklah dinamakan shalat, karena shalat adalah gerakan-gerakan tertentu dan bacaan-bacaan tertentu yang dicontohkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Membaca terjemahannya tentu tidak pernah dicontohkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Begitu pun jika seseorang membaca bacaan dalan bahasa Arab, tetapi bukan seperti yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka itu pun bukanlah shalat meskipun dalam bahasa Arab. Jadi intinya bukan bahasa Arab atau tidak, tetapi apakah sesuai dengan tuntunan shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau tidak? Jika sesuai, maka itulah shalat.
Memenuhi syarat-syarat sahnya shalat, seperti berwudhu, menutup aurat, dan menghadap kiblat, serta menyadari makna semua itu bagi jiwa.

•    Berwudhu
Berwudhu adalah bersuci. Menyucikan badan agar menghadap Allah dalam keadaan suci. Hendaknya ketika berwudhu, jiwa pun ikut ‘berwudhu’ dan meresapi makna menyucikan diri. Jika badan bersuci dari kotoran-kotoran material, maka jiwa bersuci dari kotoran-kotoran jiwa.
Ibnu Qudamah, seorang ulama terkenal di zamannya, mengatakan bahwa bersuci mempunyai empat tingkatan, yaitu:
1.    Menyucikan fisik dari hadats (kotoran)
2.    Menyucikan diri dari perbuatan dosa dan maksiat
3.    Menyucikan diri dari akhlak tercela dan menghinakan diri, dan
4.    Menyucikan jiwa dari hal-hal selain Allah, meskipun sangat tersembunyi.
Karena menyadari hal inilah maka Ali bin Hasan, seorang yang dikenal shalih di zamannya, senantiasa berubah warna wajahnya setiap kali berwudhu. Menjadi kekuning-kuningan karena sangat pucat. Ketika ada yang bertanya kepadanya, Mengapa hal ini selalu terjadi kepadamu saat engkau berwudhu?” Dia menjawab, “Tahukah kalian, di hadapan siapakah aku hendak mendirikan shalat?”

•    Menutup Aurat
Menutup aurat bukan hanya syarat dalam shalat, tapi ia juga merupakan kewajiban dalam agama sebagaimana kewajiban lainnya, seperti shalat sendiri. Jika aurat-aurat fisik ditutup dengan tujuan menjaga kehormatan karena aurat adalah aib yang harus ditutupi, bagaimana dengan aib-aib hati dan jiwa? Kita sangat berkepentingan agar aib-aib diri kita Allah tutupi bukan? Maka setiap kali menutup aurat –terutama ketika shalat-, hendaklah kita menyadari aib-aib hati kita tersebut dan merasa menyesal dan malu kepada Allah karena Ia mengetahui semua aib batin kita itu. Lalu kita memohon agar Allah menutupi aib-aib tersebut sekaligus menggantinya dengan yang lebih baik.

•    Menghadap Kiblat
Menghadap kiblat adalah simbol bagi jiwa untuk menghadap Allah, karena Allahlah yang menetapkan kiblat sebagai baitullah, menjadi arah bagi orang-orang yang shalat. Dengan demikian, jiwa dan pikiran dituntun untuk menghadap kepada Allah, dan berpaling dari hal-hal lain selain Allah.

•    Menyiapkan diri untuk berdialog dengan Allah, Pencipta kita, Pencipta alam raya yang disediakan untuk kebutuhan manusia, Yang telah meniupkan ruh ke dalam jasad kita ketika masih dalam kandungan, Yang memberikan anggota tubuh yang normal kepada kita sehingga kita tidak kesulitan dalam menjalani hidup, dan Yang mengabulkan do’a-do’a kita jika kita berdoa kepada-Nya. Dengan Zat inilah kita akan bertemu dan berdialog. Merasakan kehadiran-Nya meski kita tidak mampu melihatnya. Ia melihat kita, bahkan sampai ke isi hati kita, hal yang para malaikat pun tidak tahu. Tentang hal ini, ayat-ayat Al Qur’an dan hadits berikut dapat menjadi renungan.
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (wahai Muhammad) tentang Aku, maka Aku adalah dekat, Aku mengabulkan doa seseorang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka menjawab seruan-Ku, dan berimanlah kepada-Ku agar mereka memperoleh petujuk…” (QS Al Baqarah, 2: 186)
“Sungguh Kami telah menciptakan manusia dan Kami mengetahui apa yang dibisikkan jiwanya; dan Kami lebih dekat kepadanya dari urat lehernya.”(QS Qaaf, 50: 16). Sebuah kiasan yang menjelaskan betapa dekatnya penglihatan Allah dan betapa terperincinya pengetahuan-Nya, bahkan tentang isi hati seluruh hamba-Nya.
Dalam sebuah hadits panjang yang diriwayatkan Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu digambarkan tentang makna ihsan dalam beribadah adalah an ta’budallaha ka-annaka tarohu, fa inlam takun tarohu, fainnahu yaroka, kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya. Meskipun kamu tidak dapat melihat-Nya, Ia melihatmu.” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)
•    Menghadirkan kesadaran dalam pikiran bahwa yang akan kita temui dalam shalat adalah Zat Yang Maha Agung, dan bahwa diri kita adalah makhluk kerdil di hadapan-Nya yang sangat tergantung kepada-Nya. Hal ini jika dilakukan sejak sebelum shalat dimulai, akan membantu menghadirkan ketenangan dan kekhusyu’an serta mempertahankan keduanya sepanjang shalat nantinya.

Menghadirkan Tuma’ninah Dalam Shalat
Dengan terus berupaya merasakan kehadiran Allah, tuma’ninah akan dirasakan setelah upaya terus-menerus -sepanjang shalat- untuk terus menyatukan jiwa dengan fisik. Jiwa seringkali lebih lambat dari pada fisik karena ia terbebani berbagai pikiran dan persoalan hidup. Maka seorang yang hendak memperoleh kekhusyu’an dalam shalat, ia harus sabar untuk terus berupaya mengajak jiwanya kepada shalat, dan bersabar ketika sang jiwa seringkali terlambat ‘memenuhi’ ajakan itu.

Ketika lidah mengucapkan Allahu akbar, yang bermakna “Allah Maha Besar,” diamlah sejenak dan berilah waktu kepada jiwa untuk mengikuti ucapan lidah, mengagungkan Allah. Karena jika lidah bertakbir sementara pikiran masih mengarah kepada selain Allah, maka pada saat itu sebenarnya sang hati memandang hal selain Allah tersebut lebih besar kepentingannya dari pada menghadap Allah, sehingga lebih perlu dipikirkan. Maka bagaimanakah Allah akan menuntun dan menolong kita jika setiap kali menghadap-Nya, setiap kali itu pula kita tidak menganggap-Nya penting. Ucapan ‘Allahu akbar’ hanya di lidah.

Upaya menyadari hal ini akan membantu jiwa kita agar ia juga mengagungkan Allah dengan tulus bersamaan dengan lidah ketika mengucapkannya. Setelah lidah mengucapkannya, berilah waktu kepada jiwa untuk merasakan maknanya.

Ketika mengangkat tangan bersamaan dengan bertakbirnya lidah, berikan waktu kepada jiwa untuk juga ‘mengangkat tangannya’. Hal ini memerlukan sikap diam sejenak setelah gerakan tangan.

Ketika membaca bacaan-bacaan shalat, bacalah perlahan, dan sebagian-sebagian. Tiap kali membaca bagian bacaan tersebut, berilah waktu kepada jiwa untuk juga membacanya, memahami maknanya, dan membenarkannya. Hal ini pun memerlukan sikap diam agar pikiran bekerja untuk itu semua.
Setelah membaca a’udzulillahi minasy syaithanirrajim, diamlah sejenak, biarkan jiwa kita merasakan bahwa ia sedang berbicara kepada Allah, memohon perlindungan kepada-Nya dari bermacam bentuk gangguan syetan saat itu sibuk membisiki kita ini dan itu dan mengingatkan kita akan persoalan ini dan urusan itu. Biarkan jiwa betul-betul mohon perlindungan Allah.

Ketika membaca bismillahirrahmanirrahim, rasakanlah bahwa jiwa kita sedang melaksanakan shalat ini dengan nama-Nya yang Maha Pemurah dan Penyayang, dan bahwa seharusnya seperti itulah kita mamulai segala sesuatu dalam hidup. Memulainya dengan basmallah. Jika jiwa kita belum mengikuti bacaan tersebut dan meresapi maknanya, tunggulah sampai ia melaksanakannya.

Pada saat mengucapkan alhamdulillhi rabbil ‘alamin, rasakanlah bahwa hati kita benar-benar memuji Allah dengan penuh ketulusan dan kesadaran bahwa segala pujian itu memang hanya layak ditujukan kepada-Nya. Beri waktu kepada jiwa kita untuk merasakan makna bahwa Allah itu Rabb alam semesta yang luas dan besarnya tak terkira ini. Begitu pula ketika membaca ayat-ayat selanjutnya.

Pada saat membaca iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in, berilah saat di mana ruh kita merasakan makna bahwa kita –jasad dan ruh kita-, sungguh-sungguh hanya menyembah, mengabdi kepada Allah, lalu benar-benar hanya kepada-Nya kita meminta pertolongan. Hendaklah kita meresapi betul makna pengabdian dan permohonan ini.

Bersamaan dengan pengucapan ihdinashshirathal mustaqim, biarkanlah jiwa kita mengungkapkan permohonannya akan petunjuk ke jalan yang lurus dalam hidup ini, sebab alangkah banyaknya hal-hal yang dapat memalingkan langkah kita dari jalan yang benar. Maka kita sangat memerlukan petunjuk Allah dalam menghadapi hal sekecil apa pun. Begitulah ayat-ayat dibaca satu persatu dengan tenang, diselingi diam sejenak agar ruh kita mampu mengikutinya.

Ketika ruku’, rasakanlah tawadhu’ (kerendahhatian) dan ketundukkan di hadapan Allah yang Maha Besar, sebagaimana sikap fisik dan ucapan lidah kita saat itu. Dan ketika sujud, berilah waktu kepada jiwa untuk merasakan kerendahan diri kita di hadapan keagungan-Nya; menyadari bahwa kita berasal dari tanah, bumi tempat kita meletakkan wajah kita ketika sujud itu.
Pada saat membaca do’a di antara dua sujud, bacalah satu persatu secara perlahan diselingin diam sejenak. Rabbighfirli…, biarkanlah ruh merintih kepada Allah dengan merasakan makna do’a-do’a itu, “Wahai Rabb, ampunilah aku…,” warhamni…, “sayangilah aku…”, dan seterusnya.
Membaca perlahan dengan upaya merasakan makna yang ada di dalam bacaan tersebut, diselingi dia sejenak untuk memberikan waktu kepada ruh agar dapat berinteraksi dengan makna-makna itu, itulah tuma’ninah dalam membaca bacaan shalat. Hendaklah hal ini dilakukan pada semua bacaan shalat, baik surat-surat dari Al Qur’an, puji-pujian, maupun bacaan yang berisi do’a dan permohonan.
Jika ini dilakukan, maka shalat yang dilaksanakan akan benar-benar bermakna bagi jiwa, karena ia diberi kesempatan untuk turut melaksanakan shalat dan meresapi setiap makna gerakan dan bacaannya. Karena jiwalah yang mampu melakukan itu, sedang fisik tidak.
Dapat dimengerti jika seseorang melaksanakan shalat selalu dengan terburu-buru, ingin cepat selesai, tidak memberi kesempatan kepada ruhnya untuk shalat bersamanya, maka shalatnya itu tidak membawa pengaruh apa-apa pada jiwanya. Padahal perubahan kea rah yang lebih baik itu dating dari jiwa, sedangkan fisik hanya pelaksana saja. Maka tak heran jika shalat itu tak membawa ketenangan dalam hidup.

Upaya Sesudah Shalat
•    Mengusir si Putus Asa
Jika pada kenyataannya selama ini jiwa kita hampir tidak pernah diajak untuk turut melaksanakan bersama jasad kita, maka perlu kesabaran yang terus-menerus agar dapat mengajaknya shalat bersama jasad kita. Kegagalan sangat mungkin terjadi pada awal upaya, namun kita harus mampu mengusir jauh-jauh rasa putus asa dari jiwa kita. Keberhasilah itu pada umumnya datang  setelah kegagalan datang. Kadang beberapa, kadang puluhan, ratusan, bahkan mungkin ribuan.
Ibunda Nabi Ismail ‘alaihissalam, Hajar, berlari antara bukit Shafa dan Marwah sampai tujuh kali bolak-balik untuk mencari air agar dapat memberi bayinya, Ismail, minum. Baru setelah kali ketujuh itulah Allah memancarkan air dekat sang bayi.
Dalam Al Qur’an, Allah mengisahkan pesan Nabi Ya’kub ‘alaihissalam kepada anak-anaknya agar tidak berputus asa. “…dan janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tidak akan seseorang itu berputus asa kecuali kaum yang ingkar (kafir).” (QS. Yusuf, 12: 87)
•    Berdo’a Agar Dimudahkan Untuk Khusyu’ Dalam Shalat
Sebagaimana kebutuhan-kebutuhan hidup lainnya kita dapat meminta kepada Allah  dengan do’a, begitu pula kebutuhan shalat khusyu’. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan sebuah do’a tentang hal ini, berbunyi: Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatika (Ya Allah, bantulah aku agar dapat berdzikir menyebut nama-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu). Do’a ini dianjurkan dibaca setiap kali selesai shalat.

Wallahu a’lam bishshawab
Naskah : Eka Zulkarnain dan Rina Abdul Latif
Menemukan Kebahagiaan dalam Shalat Khusyu’

Banyak orang menghamburkan uang untuk mencari kebahagiaan yang ternyata semu dan sementara. Mengapa tidak menemukan kebahagiaan sejati dalam shalat yang khusyu’?

Shalat adalah sendi agama dan pangkal ketaatan. Di antara adabnya yang paling bagus adalah khusyu’. Diriwayatkan dari Utsman bin Affan Radhiyallahu  ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, yang artinya: “Tidaklah tiba waktu shalat fardhu kepada seseorang, lalu ia membaguskan wudhu’nya, khusyu’nya dan ruku’nya, melainkan shalat itu menjadi penebus dosa-dosanya yang telah lampau, selagi dia tidak mengerjakan dosa besar, dan yang demikian itu berlaku seterusnya.”( Hadits riwayat Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits lain dari Utsman bin ‘Affan juga, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, yang artinya: “Barang siapa shalat dua rakaat, sedang ia tidak mengajak jiwanya bercakap-cakap ketika shalat itu, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.”(Hadits riwayat Bukhari dan Muslim).

Kekhusyu’an Terbaik
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, salah seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu shalat malam sampai kakinya bengkak. Kemudian ‘Aisyah bertanya, “Mengapa engkau melakukannya sampai begini, padahal dosa-dosamu sudah diampuni Allah?” Maka beliau menjawab, “Afala akuna ‘abdan syakuran?” (Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang bersyukur?) (Hadits riwayat Ibnu Majah).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat malam (sunnah tahajjud) sendirian, bukan main lamanya, tetapi jika shalat fardhu di masjid berjama’ah, beliau mempercepat shalatnya –dengan tetap tuma’ninah- karena memahami keadaan makmumnya yang beragam.
Diriwayatkan dari Muthrif bin Abdillah, anak salah seorang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa bapaknya berkata, “Aku pernah mendatangi Rasulullah, waktu itu aku dapati beliau sedang shalat. Dan aku mendengar tangisnya seperti orang merintih.” (Hadits riwayat Abu Daud)
Salah seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Huzaifah Ibnul Yaman berkata, “Aku pernah shalat bersama Nabi (shalat malam). Beliau membaca surat Al Baqarah, lalu ruku’ ketika sampai pada ayatnya yang ke seratus. Lalu bangun dan menamatkannya (sampai ayat 286) pada rakaat kedua. Kemudian bangun lagi dan membaca Ali Imran, lalu An Nisa. Kalau ada ayat tasbih, beliau bertasbih; kalau ada membaca ayat do’a, beliau berdoa. Lalu ruku’ lama sekali, seakan-akan sama dengan satu rakaat, lalu bangun dan diam agak lama kemudian sujud lama sekali, hampi sama dengan bangunnya.” (Hadits riwayat Bukhari). Berarti pada malam itu beliau membaca lebih dari lima juz dalam shalat.
Salah satu sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abdullah bin Az Zubair, apabila ia sedang shalat, maka seakan-akan dia adalah sebatang pohon karena khusyu’nya. Saat dia sujud lalu ada beberapa ekor burung yang hinggap di punggungnya, maka hal itu tidak membuatnya terusik. Sampai dikatakan bahwa yang bisa mengusiknya adalah jika dia ditimpa runtuhan dinding.
Maimun bin Mahran, seorang shalih dari umat yang terdahulu, mengisahkan bagaimana shalatnya seorang tokoh ulama shalih lainnya di zamannya, yaitu Muslim bin Yassar.
Katanya, “Sekali pun aku tidak pernah melihat Muslim bin Yassar menoleh saat melaksanakan shalat. Suatu kali sebagian bangunan masjid ada yang roboh sehingga orang-orang yang berada di pasar menjadi kaget karenanya. Sementara saat itu pula Muslim bin Yassar berada di dalam masjid sedang shalat, tapi dia sama sekali tidak menoleh….”                                                   
Bagaimana orang-orang shalih tersebut larut dalam shalat mereka? Orang-orang  yang larut dalam sesuatu adalah mereka yang merasa senang dan bahagia dalam sesuatu itu. Bagaimanakah shalat, ibadah yang merupakan pangkal ketaatan -setelah dua kalimat syahadat- dapat menjadi sesuatu yang menjadi sumber rasa bahagia dan menyenangkan bagi orang-orang tersebut?
Sementara kebahagiaan yang diperoleh secara terus-menerus dari apa yang dilakukan secara berkesinambungan, akan menguatkan mental dan mengokohkan kepribadian. Rasa bahagia yang masuk ke dalam jiwa bersifat alami, apa adanya dan sejati, selama sesuatu itu bukan hal yang merusak seperti narkoba.
Lain halnya dengan narkoba yang secara fisik merusak, yang daya rusaknya menjalar ke otak sehingga ia juga merusak pikiran. Jelas rasa ‘bahagia’ yang ditimbulkannya hanyalah semu, sesaat, setelah itu adalah kesakitan yang luar biasa dan kerusakan parah pada tubuh, hardware dan sofwarenya sekaligus. Sejatinya adalah kesengsaraan. Keduanya bertolak belakang seratus delapan puluh derajat!
Bagaimanakah sebuah rangkaian gerakan, bacaan, dalam sistem iman kepada Allah, mampu membuat seseorang merasa sangat bahagia sehingga ia bisa larut di dalamnya? Sementara tidak sedikit orang yang tidak merasakan apa-apa sesudah melaksanakannya kecuali perasaan yang mengatakan, “Ah, tenang sudah shalat, gak ada beban lagi kalo mau ngapa-ngapain.”
Bahkan ada pula yang merasakan shalat itu beban sehingga jiwanya berbisik, ‘Nanti sajalah dilaksanakan kalau saya sudah tua’, padahal realita mengatakan bahwa Allah ‘memanggil’ hamba-hamba-Nya bukan hanya dari kalangan usia lanjut, tetapi juga orang muda, remaja, anak-anak, bahkan bayi yang baru lahir.

Rahasia Tuma’ninah
Seorang blogger bercerita dalam blognya tentang pengalamannya berupaya untuk shalat khusyu’, setelah ia membaca sebuah buku tentang tuntunan shalat khusyu’ yang sekarang sedang popular. Setelah beberapa kali merasa gagal, pada suatu kali shalat subuh tercapai juga apa yang ia ingin rasakan. Shalat dua rakaat itu tanpa terasa ia lakukan sangat lama dari biasanya.
Untuk pertama kalinya ia merasa larut dalam shalatnya, merasakan kehadiran Allah, Merasakan bahwa ruhnya turut shalat bersama jasadnya. Merasakan keagungan Allah dan kerendahan diri. Air mata meleleh. Tangisan tulus dari ruh yang turut shalat, bertakbir, bergerak dan membaca sebagaimana yang dilakukan jasad. Ia merasakan shalatnya kali ini betul-betul dilaksanakan dengan tuma’ninah.
Tulisan itu mendapat lebih dari seratus tiga puluh respon yang pada umumnya menyatakan senang dengan tulisan sang blogger.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mewajibkan umatnya untuk membaca surat-surat yang sangat panjang dalam shalat seperti yang beliau lakukan pada shalat malam (tahajjud). Siapa pun boleh memilih surat panjang atau pendek untuk ia baca di dalam shalatnya, terutama jika shalat dilakukan sendirian seperti pada umumnya shalat sunnah.
Akan tetapi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam betul-betul berpesan agar bersungguh-sungguh mendirikan shalat; yaitu shalat yang dilakukan bukan sekedar melaksanakan kewajiban, tetapi shalat dengan sepenuh jiwa sehingga ia mampu mencegah pelaksananya dari perbuatan buruk, keji dan munkar, dan mendorongnya untuk berbuat baik. Kualitas shalat seperti ini hanya akan diperoleh jika dilakukan dengan khusyu’. Untuk memperoleh khusyu’ itulah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat tentang satu hal: tuma’ninah.
Apakah tuma’ninah itu? Ia adalah sikap diam sejenak dan tenang setiap kali seorang yang sedang shalat (mushalli) sudah melaksanakan suatu gerakan shalat dan/ atau membaca suatu bacaan. Tujuannya adalah agar pikiran yang ada dalam dirinya ikut bergerak juga bersama gerakan badan, dan ikut membaca serta memahami bacaan yang dibaca.
Gerakan-gerakan shalat adalah simbol-simbol ketundukkan, ketaatan pada Yang Maha Agung, jika jiwa tidak ikut serta, maka ia hanya merupakan gerakan-gerakan kosong tanpa makna. Sedangkan bacaan adalah nasihat-nasihat yang menunjuki dan menguatkan jiwa. Jika jiwa sendiri tidak turut membacanya dengan tulus, maka bacaan itu menjadi seperti igauan tanpa dimengerti oleh orang yang mengucapkannya sendiri karena ia tidak sadar ketika mengucapkannya. Di sinilah esensinya.

Bagaimana Menghadirkan Tuma’ninah?

•    Memahami
Memahami bacaan-bacaan yang hendak dibaca dalam shalat. Orang yang tidak memahami ucapan yang diucapkannya tidak mungkin dapat meresapi makna-makna yang terkandung di dalamnya. Bagaimana mungkin makna-makna itu akan memengaruhi jiwanya, apalagi membangkitkannya? Memahami arti bacaan-bacaan shalat yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang memang nota bene dalam bahasa Arab, haruslah diupayakan dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati.
Membaca terjemahan bacaan tersebut dalam bahasa yang kita mengerti dalam ‘shalat’ tidaklah dinamakan shalat, karena shalat adalah gerakan-gerakan tertentu dan bacaan-bacaan tertentu yang dicontohkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Membaca terjemahannya tentu tidak pernah dicontohkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Begitu pun jika seseorang membaca bacaan dalan bahasa Arab, tetapi bukan seperti yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka itu pun bukanlah shalat meskipun dalam bahasa Arab. Jadi intinya bukan bahasa Arab atau tidak, tetapi apakah sesuai dengan tuntunan shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau tidak? Jika sesuai, maka itulah shalat.
Memenuhi syarat-syarat sahnya shalat, seperti berwudhu, menutup aurat, dan menghadap kiblat, serta menyadari makna semua itu bagi jiwa.

•    Berwudhu
Berwudhu adalah bersuci. Menyucikan badan agar menghadap Allah dalam keadaan suci. Hendaknya ketika berwudhu, jiwa pun ikut ‘berwudhu’ dan meresapi makna menyucikan diri. Jika badan bersuci dari kotoran-kotoran material, maka jiwa bersuci dari kotoran-kotoran jiwa.
Ibnu Qudamah, seorang ulama terkenal di zamannya, mengatakan bahwa bersuci mempunyai empat tingkatan, yaitu:
1.    Menyucikan fisik dari hadats (kotoran)
2.    Menyucikan diri dari perbuatan dosa dan maksiat
3.    Menyucikan diri dari akhlak tercela dan menghinakan diri, dan
4.    Menyucikan jiwa dari hal-hal selain Allah, meskipun sangat tersembunyi.
Karena menyadari hal inilah maka Ali bin Hasan, seorang yang dikenal shalih di zamannya, senantiasa berubah warna wajahnya setiap kali berwudhu. Menjadi kekuning-kuningan karena sangat pucat. Ketika ada yang bertanya kepadanya, Mengapa hal ini selalu terjadi kepadamu saat engkau berwudhu?” Dia menjawab, “Tahukah kalian, di hadapan siapakah aku hendak mendirikan shalat?”

•    Menutup Aurat
Menutup aurat bukan hanya syarat dalam shalat, tapi ia juga merupakan kewajiban dalam agama sebagaimana kewajiban lainnya, seperti shalat sendiri. Jika aurat-aurat fisik ditutup dengan tujuan menjaga kehormatan karena aurat adalah aib yang harus ditutupi, bagaimana dengan aib-aib hati dan jiwa? Kita sangat berkepentingan agar aib-aib diri kita Allah tutupi bukan? Maka setiap kali menutup aurat –terutama ketika shalat-, hendaklah kita menyadari aib-aib hati kita tersebut dan merasa menyesal dan malu kepada Allah karena Ia mengetahui semua aib batin kita itu. Lalu kita memohon agar Allah menutupi aib-aib tersebut sekaligus menggantinya dengan yang lebih baik.

•    Menghadap Kiblat
Menghadap kiblat adalah simbol bagi jiwa untuk menghadap Allah, karena Allahlah yang menetapkan kiblat sebagai baitullah, menjadi arah bagi orang-orang yang shalat. Dengan demikian, jiwa dan pikiran dituntun untuk menghadap kepada Allah, dan berpaling dari hal-hal lain selain Allah.

•    Menyiapkan diri untuk berdialog dengan Allah, Pencipta kita, Pencipta alam raya yang disediakan untuk kebutuhan manusia, Yang telah meniupkan ruh ke dalam jasad kita ketika masih dalam kandungan, Yang memberikan anggota tubuh yang normal kepada kita sehingga kita tidak kesulitan dalam menjalani hidup, dan Yang mengabulkan do’a-do’a kita jika kita berdoa kepada-Nya. Dengan Zat inilah kita akan bertemu dan berdialog. Merasakan kehadiran-Nya meski kita tidak mampu melihatnya. Ia melihat kita, bahkan sampai ke isi hati kita, hal yang para malaikat pun tidak tahu. Tentang hal ini, ayat-ayat Al Qur’an dan hadits berikut dapat menjadi renungan.
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (wahai Muhammad) tentang Aku, maka Aku adalah dekat, Aku mengabulkan doa seseorang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka menjawab seruan-Ku, dan berimanlah kepada-Ku agar mereka memperoleh petujuk…” (QS Al Baqarah, 2: 186)
“Sungguh Kami telah menciptakan manusia dan Kami mengetahui apa yang dibisikkan jiwanya; dan Kami lebih dekat kepadanya dari urat lehernya.”(QS Qaaf, 50: 16). Sebuah kiasan yang menjelaskan betapa dekatnya penglihatan Allah dan betapa terperincinya pengetahuan-Nya, bahkan tentang isi hati seluruh hamba-Nya.
Dalam sebuah hadits panjang yang diriwayatkan Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu digambarkan tentang makna ihsan dalam beribadah adalah an ta’budallaha ka-annaka tarohu, fa inlam takun tarohu, fainnahu yaroka, kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya. Meskipun kamu tidak dapat melihat-Nya, Ia melihatmu.” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)
•    Menghadirkan kesadaran dalam pikiran bahwa yang akan kita temui dalam shalat adalah Zat Yang Maha Agung, dan bahwa diri kita adalah makhluk kerdil di hadapan-Nya yang sangat tergantung kepada-Nya. Hal ini jika dilakukan sejak sebelum shalat dimulai, akan membantu menghadirkan ketenangan dan kekhusyu’an serta mempertahankan keduanya sepanjang shalat nantinya.

Menghadirkan Tuma’ninah Dalam Shalat
Dengan terus berupaya merasakan kehadiran Allah, tuma’ninah akan dirasakan setelah upaya terus-menerus -sepanjang shalat- untuk terus menyatukan jiwa dengan fisik. Jiwa seringkali lebih lambat dari pada fisik karena ia terbebani berbagai pikiran dan persoalan hidup. Maka seorang yang hendak memperoleh kekhusyu’an dalam shalat, ia harus sabar untuk terus berupaya mengajak jiwanya kepada shalat, dan bersabar ketika sang jiwa seringkali terlambat ‘memenuhi’ ajakan itu.
Ketika lidah mengucapkan Allahu akbar, yang bermakna “Allah Maha Besar,” diamlah sejenak dan berilah waktu kepada jiwa untuk mengikuti ucapan lidah, mengagungkan Allah. Karena jika lidah bertakbir sementara pikiran masih mengarah kepada selain Allah, maka pada saat itu sebenarnya sang hati memandang hal selain Allah tersebut lebih besar kepentingannya dari pada menghadap Allah, sehingga lebih perlu dipikirkan. Maka bagaimanakah Allah akan menuntun dan menolong kita jika setiap kali menghadap-Nya, setiap kali itu pula kita tidak menganggap-Nya penting. Ucapan ‘Allahu akbar’ hanya di lidah.
Upaya menyadari hal ini akan membantu jiwa kita agar ia juga mengagungkan Allah dengan tulus bersamaan dengan lidah ketika mengucapkannya. Setelah lidah mengucapkannya, berilah waktu kepada jiwa untuk merasakan maknanya.
Ketika mengangkat tangan bersamaan dengan bertakbirnya lidah, berikan waktu kepada jiwa untuk juga ‘mengangkat tangannya’. Hal ini memerlukan sikap diam sejenak setelah gerakan tangan.
Ketika membaca bacaan-bacaan shalat, bacalah perlahan, dan sebagian-sebagian. Tiap kali membaca bagian bacaan tersebut, berilah waktu kepada jiwa untuk juga membacanya, memahami maknanya, dan membenarkannya. Hal ini pun memerlukan sikap diam agar pikiran bekerja untuk itu semua.
Setelah membaca a’udzulillahi minasy syaithanirrajim, diamlah sejenak, biarkan jiwa kita merasakan bahwa ia sedang berbicara kepada Allah, memohon perlindungan kepada-Nya dari bermacam bentuk gangguan syetan saat itu sibuk membisiki kita ini dan itu dan mengingatkan kita akan persoalan ini dan urusan itu. Biarkan jiwa betul-betul mohon perlindungan Allah.
Ketika membaca bismillahirrahmanirrahim, rasakanlah bahwa jiwa kita sedang melaksanakan shalat ini dengan nama-Nya yang Maha Pemurah dan Penyayang, dan bahwa seharusnya seperti itulah kita mamulai segala sesuatu dalam hidup. Memulainya dengan basmallah. Jika jiwa kita belum mengikuti bacaan tersebut dan meresapi maknanya, tunggulah sampai ia melaksanakannya.
Pada saat mengucapkan alhamdulillhi rabbil ‘alamin, rasakanlah bahwa hati kita benar-benar memuji Allah dengan penuh ketulusan dan kesadaran bahwa segala pujian itu memang hanya layak ditujukan kepada-Nya. Beri waktu kepada jiwa kita untuk merasakan makna bahwa Allah itu Rabb alam semesta yang luas dan besarnya tak terkira ini. Begitu pula ketika membaca ayat-ayat selanjutnya.
Pada saat membaca iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in, berilah saat di mana ruh kita merasakan makna bahwa kita –jasad dan ruh kita-, sungguh-sungguh hanya menyembah, mengabdi kepada Allah, lalu benar-benar hanya kepada-Nya kita meminta pertolongan. Hendaklah kita meresapi betul makna pengabdian dan permohonan ini.
Bersamaan dengan pengucapan ihdinashshirathal mustaqim, biarkanlah jiwa kita mengungkapkan permohonannya akan petunjuk ke jalan yang lurus dalam hidup ini, sebab alangkah banyaknya hal-hal yang dapat memalingkan langkah kita dari jalan yang benar. Maka kita sangat memerlukan petunjuk Allah dalam menghadapi hal sekecil apa pun. Begitulah ayat-ayat dibaca satu persatu dengan tenang, diselingi diam sejenak agar ruh kita mampu mengikutinya.
Ketika ruku’, rasakanlah tawadhu’ (kerendahhatian) dan ketundukkan di hadapan Allah yang Maha Besar, sebagaimana sikap fisik dan ucapan lidah kita saat itu. Dan ketika sujud, berilah waktu kepada jiwa untuk merasakan kerendahan diri kita di hadapan keagungan-Nya; menyadari bahwa kita berasal dari tanah, bumi tempat kita meletakkan wajah kita ketika sujud itu.
Pada saat membaca do’a di antara dua sujud, bacalah satu persatu secara perlahan diselingin diam sejenak. Rabbighfirli…, biarkanlah ruh merintih kepada Allah dengan merasakan makna do’a-do’a itu, “Wahai Rabb, ampunilah aku…,” warhamni…, “sayangilah aku…”, dan seterusnya.
Membaca perlahan dengan upaya merasakan makna yang ada di dalam bacaan tersebut, diselingi dia sejenak untuk memberikan waktu kepada ruh agar dapat berinteraksi dengan makna-makna itu, itulah tuma’ninah dalam membaca bacaan shalat. Hendaklah hal ini dilakukan pada semua bacaan shalat, baik surat-surat dari Al Qur’an, puji-pujian, maupun bacaan yang berisi do’a dan permohonan.
Jika ini dilakukan, maka shalat yang dilaksanakan akan benar-benar bermakna bagi jiwa, karena ia diberi kesempatan untuk turut melaksanakan shalat dan meresapi setiap makna gerakan dan bacaannya. Karena jiwalah yang mampu melakukan itu, sedang fisik tidak.
Dapat dimengerti jika seseorang melaksanakan shalat selalu dengan terburu-buru, ingin cepat selesai, tidak memberi kesempatan kepada ruhnya untuk shalat bersamanya, maka shalatnya itu tidak membawa pengaruh apa-apa pada jiwanya. Padahal perubahan kea rah yang lebih baik itu dating dari jiwa, sedangkan fisik hanya pelaksana saja. Maka tak heran jika shalat itu tak membawa ketenangan dalam hidup.

Upaya Sesudah Shalat
•    Mengusir si Putus Asa
Jika pada kenyataannya selama ini jiwa kita hampir tidak pernah diajak untuk turut melaksanakan bersama jasad kita, maka perlu kesabaran yang terus-menerus agar dapat mengajaknya shalat bersama jasad kita. Kegagalan sangat mungkin terjadi pada awal upaya, namun kita harus mampu mengusir jauh-jauh rasa putus asa dari jiwa kita. Keberhasilah itu pada umumnya datang  setelah kegagalan datang. Kadang beberapa, kadang puluhan, ratusan, bahkan mungkin ribuan.
Ibunda Nabi Ismail ‘alaihissalam, Hajar, berlari antara bukit Shafa dan Marwah sampai tujuh kali bolak-balik untuk mencari air agar dapat memberi bayinya, Ismail, minum. Baru setelah kali ketujuh itulah Allah memancarkan air dekat sang bayi.
Dalam Al Qur’an, Allah mengisahkan pesan Nabi Ya’kub ‘alaihissalam kepada anak-anaknya agar tidak berputus asa. “…dan janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tidak akan seseorang itu berputus asa kecuali kaum yang ingkar (kafir).” (QS. Yusuf, 12: 87)
•    Berdo’a Agar Dimudahkan Untuk Khusyu’ Dalam Shalat
Sebagaimana kebutuhan-kebutuhan hidup lainnya kita dapat meminta kepada Allah  dengan do’a, begitu pula kebutuhan shalat khusyu’. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan sebuah do’a tentang hal ini, berbunyi: Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatika (Ya Allah, bantulah aku agar dapat berdzikir menyebut nama-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu). Do’a ini dianjurkan dibaca setiap kali selesai shalat.

Wallahu a’lam bishshawab

Meluruskan Pemahaman tentang Poligami

 
Last Update : 2011-11-14 10:53:20






Ada perasaan tergelitik saat saya asyik menekuri sebuah artikel di rubrik Muslimah www.eramuslim.com dengan judul: “Aku, Suamiku, dan istri Pertamanya”. Sangat indah gambaran yang dipaparkan oleh sang penulis tentang dimensi keluarga yang berbentuk segitiga, karena memang sang suami tidak hanya dimiliki oleh dirinya sebagai istri muda, namun juga oleh istri pertamanya. Ketergelitikan itu mencapai kulminasi saat saya mengetahui bahwa istri pertama yang dimaksud oleh sang penulis ternyata tidak tersemat pada seorang wanita dalam ujud yang sebenarnya, namun pada jama’ah dan amanah dakwah. Wow!

Saya tidak berada dalam kapasitas mengkritik tulisan dari Saudari yang dirahmati Allah, Rabi’ah Al-Adawiyah. Namun ulasan kehidupan poligami yang dipaparkan tidak dalam realitas yang semestinya membuat umat ini –terutama pembaca- semakin kehilangan tuntunan dan gambaran yang nyata tentang keindahan poligami. Memposisikan jama’ah (ummat muslim) dan amanah dakwah sebagai sesuatu yang dicintai dan diutamakan tentunya tidak salah. Karena memang dua hal tadi adalah lingkaran yang akan senantiasa disentuh oleh para aktivis dakwah. Namun memposisikannya sebagai istri pertama tentunya bukanlah hal yang bijak, karena sebetulnya saat membaca artikel tersebut ekspektasi sebagian besar pembaca adalah memperoleh ulasan lugas tentang kehidupan poligami.

Di masa sekarang, hampir setiap individu muslim nyaris kehilangan gambaran kehidupan poligami yang terharmonisasi dengan rapi. Pemahaman masyarakat yang minim akan keluhuran hukum islam, ditambah dengan sodokan liberalisasi di berbagai lini, telah mendekati sempurna dalam meluluhlantakkan kepercayaan muslim akan syariat agamanya sendiri. Sehingga keimanan yang terbenam di hati tidak jarang terlahir tanpa konsekuensi bahwa tiap perilaku, ucapan, dan pikiran harus senatiasa terikat dan tidak boleh melenceng sedikitpun dari rambu-rambu Illahi. Tak terkecuali dalam kehidupan rumahtangga. Pernikahan melulu terlukis dengan ikatan antara dua hati saja, bukan tiga, empat, apalagi lima.

Hal seperti inilah yang semakin mengokohkan pandangan bahwa poligami adalah sesuatu yang tabu, aneh, menjijikkan bahkan terlarang, serta ketentraman tidak akan mungkin terwujud di dalamnya. Kaum wanita terutama, menganggap bahwa bercerai adalah lebih syahdu daripada harus dimadu. Tidak sedikit yang beranggapan seperti ini. Padahal, Allah telah menurunkan Al-Qur’an demi memilin keteraturan dalam hidup hamba-Nya, tak terkecuali dalam hal pernikahan dan poligami. Jika selama ini, ayat “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu iseri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya…,” (Ar-Ruum:21) menjadi begitu digandrungi oleh tiap calon pengantin, maka ayat: “…maka kawinlah dengan perempuan lain yang menyenangkan hatimu; dua, tiga, atau empat….” (An-Nisa:3) seolah menjadi sesuatu yang menakutkan.

Jika kita mau menipiskan rasa ego dan melambungkan ketundukan pada Illahi Rabbi, maka kita akan mendapati bahwa poligami merupakan salah satu tindakan yang tergabung dalam kategori MUBAH. Ya, mubah, boleh. Dilaksanakan monggo, tidak dilaksanakan juga monggo. Status mubah di sini tidak kemudian mengizinkan kita membenci poligami, karena bagaimanapun Allah telah membolehkan perkara ini berlaku bagi kaum pria.

Tidak dipungkiri alasan mengapa mayoritas wanita begitu alergi dengan poligami adalah memang masalah hati, masalah perasaan. Wanita dengan fitrahnya yang perasa dan beban perasaannya yang terakumulasi 9 kali lebih kuat daripada akalnya, senantiasa mengedepankan masalah hati dalam setiap hal. Padahal seharusnya kedudukan hukum syara’ haruslah diletakkan jauh melampaui akal dan perasaan manusia. Ditinjau dari sisi perasaan, memang tidak rela rasanya jika suami yang begitu kita cintai harus membagi kasihnya pada wanita lain.

Dalam Qur’an Surah An-Nisa ayat 3 memang terselip syarat yang harus ditunaikan oleh lelaki bila telah berpoligami, yakni: “Jika kamu khawatir tidak dapat berbuat adil (terhadap istri yang terbilang), maka kawinilah seorang saja, atau ambillah budak perempuan kamu. Demikian ini agar kamu lebih dekat untuk tidak berbuat aniaya”. Namun adil di sini adalah keadilan yang dapat dilakukan, yaitu adil dalam pembagian mu'asyarah dan memberikan nafkah. Adapun keadilan dalam hal mecintai, termasuk di dalamnya masalah hubungan badan (jima') adalah keadilan yang tidak mungkin. Itulah yang dimaksud dari firman Allah: " Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian". (An-Nisa ; 129).

Ibunda-ibunda kita yang mulia, para Ummahatul Mu’minin, dalam kesehariannya pun tidak terlepas dari kisah saling cemburu, saling bersekongkol satu sama lain dalam merebut hati Rasulullah. Mari lihat bagaimana ‘Aisyah r.a. dan Saudah r.a.  menyusun strategi untuk membuat Rasulullah tidak berlama-lama berdiam di rumah Hafshah binti Umar. Mereka berdua bersepakat mengatakan pada Rasulullah Saw.  bahwa nafas beliau berbau seperti maghafir (sagu manis tapi baunya tidak sedap) dan nahlatul ‘arfath (tanaman yang rasanya sangat pahit dan berbau tak sedap) tiap kali menikmati madu di rumah Hafshah r.a.. Hal ini akhirnya membuat Rasulullah mengharamkan dirinya dari meminum madu, yang kemudian Allah Swt. meluruskan hal tersebut.

Atau mari kita cermati betapa istri-istri Rasulullah menaruh kecemburuan yang amat besar pada ibunda ‘Aisyah karena Rasulullah lebih condong kecintaannya pada ‘Aisyah. Suatu saat mereka berdiskusi dan sepakat mengutus Zainab binti Jahsyi untuk mengingatkan Rasulullah agar berbuat adil kepada istri-istri yang lain sebagaimana perlakuan beliau Saw. pada ‘Aisyah.

Segelintir fakta di atas merupakan bukti valid bahwa para istri nabi pun memiliki kecemburuan, ketidakrelaan, dan kesensitivan yang sama besar dengan kita, muslimah akhir zaman. Namun yang membuat berbeda adalah para wanita agung tersebut meletakkan perasaannya di bawah wahyu. Jadi seberat apapun kecemburuan itu, mereka tetap memilih tunduk pada hukum Allah.

Begitupun juga Rasulullah Saw., meskipun secara nafkah lahir dan batin sudah adil namun perasaan beliau memang terkadang condong pada beberapa istrinya saja. Inilah yang membuat Rasulullah senantiasa berdoa saat melakukan pembagian pada istri-istrinya: “Ya Allah inilah pembagianku menurut kemampuanku, maka janganlah Engkau mencercaku di dalam hal yang mampu Engkau lakukan dan aku tidak mampu melakukannya," (Diriwayatkan oleh Abu Daud, At-Timidzi, An-Nasa'i, Ibnu Majah dan dinilai Shahih oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim).

Melihat realitas masa kini di mana jumlah wanita telah melambung sekian kali lipat lebih banyak dari kaum pria, tidak bisa menafikkan keniscayaan bahwa poligami –sebagai sesuatu yang mubah tadi- menjadi solusi jitu bagi membludaknya angka janda, perawan tua, dan wanita-wanita yang tidak kunjung mendapatkan suami. Tentunya berat jika kita hanya meniliknya dari segi hati, namun jika hati dibalut dengan ketaqwaan maka insyaAllah hanya keikhlasanlah yang ada.

Dari pemahaman inilah, potret kehidupan poligami akan terpapar dengan nyata, kokoh, sekaligus indah. Insya Allah ketika saya memiliki suami kelak, saya akan dengan senang hati untuk berbagi suami saya tidak hanya dengan ummat dan agenda dakwahnya, namun juga dengan saudari saya satu aqidah. So, poligami bukan alergi. Deal kan?

Bismillah.
Saya shock….astagfirullah… apa sy tidak salah dengar???
Qaniyahq, y sedari td menangis , smbl ngamuk2 tp tidak sy peduli, “krn nangisy gara2 terlalu ngantuk” tiba2 diam sejenak, dan berteriak.. ummi knapa jahat sekali???sengaja tdk pedulikan anaky,  mama ini y salah, kenapa lahirkan ummiq, knapa sy tdk dilahirkan sj sm orang lain, ummi ini jahat sekali,

Astagfirullah, sy seperti tersengat.
Sempat terlintas u memarahi gadis kecilq itu.tp urung, sy msh mencoba berdamai dengan seluruh indraq, membuat kesepakatan langkah apa y terbaik.
Sy memeluky, itu menurutq solusi y pertama.
Tp dia berontak, masih dengan tangisy, malah lebih kencang dr sbelumnya.
“kenapaki nak… kk  .kalau ada masalah coba bilang baik2, “sy menatap matay.
Tdk ada reaksi selain menangs.
“ayo kk, kalau tdk mau dbujuk, kt mengaji pale sm2, spy pergiki setannya y bkn kk mara2 begini..”
Sy mulai melantunkan adzkarul masa’
wah,, makin rajin posting,, mablous! mablous! heheh


template blog yang dulu Q ganti jeng... terlalu gelap. ni kan cerah... gmana? suka? kamu banget kan? heheh..
silahkan tinggalkan komentar di blog Q, tuh dah Q pasang di BACAANKU JUGA, "prosa hidup", smoga makin rajin nulis..
_ophy cantik..



Bukan sekedar kata, tapi nyata dan mimpi yang kurajut, menjadi udara dalam rumah cinta ku, menghidupkan kenangan di tiap ruangnya.