Senin, 09 April 2012

Menemukan Kebahagiaan dalam Shalat Khusyu

 
Last Update : 2012-02-20 13:38:43






Banyak orang menghamburkan uang untuk mencari kebahagiaan yang ternyata semu dan sementara. Mengapa tidak menemukan kebahagiaan sejati dalam shalat yang khusyu’?

Shalat adalah sendi agama dan pangkal ketaatan. Di antara adabnya yang paling bagus adalah khusyu’. Diriwayatkan dari Utsman bin Affan Radhiyallahu  ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, yang artinya: “Tidaklah tiba waktu shalat fardhu kepada seseorang, lalu ia membaguskan wudhu’nya, khusyu’nya dan ruku’nya, melainkan shalat itu menjadi penebus dosa-dosanya yang telah lampau, selagi dia tidak mengerjakan dosa besar, dan yang demikian itu berlaku seterusnya.”( Hadits riwayat Bukhari dan Muslim).

Dalam hadits lain dari Utsman bin ‘Affan juga, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, yang artinya: “Barang siapa shalat dua rakaat, sedang ia tidak mengajak jiwanya bercakap-cakap ketika shalat itu, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.”(Hadits riwayat Bukhari dan Muslim).

Kekhusyu’an Terbaik

Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, salah seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu shalat malam sampai kakinya bengkak. Kemudian ‘Aisyah bertanya, “Mengapa engkau melakukannya sampai begini, padahal dosa-dosamu sudah diampuni Allah?” Maka beliau menjawab, “Afala akuna ‘abdan syakuran?” (Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang bersyukur?) (Hadits riwayat Ibnu Majah).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat malam (sunnah tahajjud) sendirian, bukan main lamanya, tetapi jika shalat fardhu di masjid berjama’ah, beliau mempercepat shalatnya –dengan tetap tuma’ninah- karena memahami keadaan makmumnya yang beragam.

Diriwayatkan dari Muthrif bin Abdillah, anak salah seorang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa bapaknya berkata, “Aku pernah mendatangi Rasulullah, waktu itu aku dapati beliau sedang shalat. Dan aku mendengar tangisnya seperti orang merintih.” (Hadits riwayat Abu Daud)
Salah seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Huzaifah Ibnul Yaman berkata, “Aku pernah shalat bersama Nabi (shalat malam). Beliau membaca surat Al Baqarah, lalu ruku’ ketika sampai pada ayatnya yang ke seratus. Lalu bangun dan menamatkannya (sampai ayat 286) pada rakaat kedua. Kemudian bangun lagi dan membaca Ali Imran, lalu An Nisa. Kalau ada ayat tasbih, beliau bertasbih; kalau ada membaca ayat do’a, beliau berdoa. Lalu ruku’ lama sekali, seakan-akan sama dengan satu rakaat, lalu bangun dan diam agak lama kemudian sujud lama sekali, hampi sama dengan bangunnya.” (Hadits riwayat Bukhari). Berarti pada malam itu beliau membaca lebih dari lima juz dalam shalat.

Salah satu sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abdullah bin Az Zubair, apabila ia sedang shalat, maka seakan-akan dia adalah sebatang pohon karena khusyu’nya. Saat dia sujud lalu ada beberapa ekor burung yang hinggap di punggungnya, maka hal itu tidak membuatnya terusik. Sampai dikatakan bahwa yang bisa mengusiknya adalah jika dia ditimpa runtuhan dinding.

Maimun bin Mahran, seorang shalih dari umat yang terdahulu, mengisahkan bagaimana shalatnya seorang tokoh ulama shalih lainnya di zamannya, yaitu Muslim bin Yassar.

Katanya, “Sekali pun aku tidak pernah melihat Muslim bin Yassar menoleh saat melaksanakan shalat. Suatu kali sebagian bangunan masjid ada yang roboh sehingga orang-orang yang berada di pasar menjadi kaget karenanya. Sementara saat itu pula Muslim bin Yassar berada di dalam masjid sedang shalat, tapi dia sama sekali tidak menoleh..."
                                                  
Bagaimana orang-orang shalih tersebut larut dalam shalat mereka? Orang-orang  yang larut dalam sesuatu adalah mereka yang merasa senang dan bahagia dalam sesuatu itu. Bagaimanakah shalat, ibadah yang merupakan pangkal ketaatan -setelah dua kalimat syahadat- dapat menjadi sesuatu yang menjadi sumber rasa bahagia dan menyenangkan bagi orang-orang tersebut?
Sementara kebahagiaan yang diperoleh secara terus-menerus dari apa yang dilakukan secara berkesinambungan, akan menguatkan mental dan mengokohkan kepribadian. Rasa bahagia yang masuk ke dalam jiwa bersifat alami, apa adanya dan sejati, selama sesuatu itu bukan hal yang merusak seperti narkoba.

Lain halnya dengan narkoba yang secara fisik merusak, yang daya rusaknya menjalar ke otak sehingga ia juga merusak pikiran. Jelas rasa ‘bahagia’ yang ditimbulkannya hanyalah semu, sesaat, setelah itu adalah kesakitan yang luar biasa dan kerusakan parah pada tubuh, hardware dan sofware-nya sekaligus. Sejatinya adalah kesengsaraan. Keduanya bertolak belakang seratus delapan puluh derajat!

Bagaimanakah sebuah rangkaian gerakan, bacaan, dalam sistem iman kepada Allah, mampu membuat seseorang merasa sangat bahagia sehingga ia bisa larut di dalamnya? Sementara tidak sedikit orang yang tidak merasakan apa-apa sesudah melaksanakannya kecuali perasaan yang mengatakan, “Ah, tenang sudah shalat, gak ada beban lagi kalo mau ngapa-ngapain.”

Bahkan ada pula yang merasakan shalat itu beban sehingga jiwanya berbisik, ‘Nanti sajalah dilaksanakan kalau saya sudah tua,’ padahal realita mengatakan bahwa Allah ‘memanggil’ hamba-hamba-Nya bukan hanya dari kalangan usia lanjut, tetapi juga orang muda, remaja, anak-anak, bahkan bayi yang baru lahir.

Rahasia Tuma’ninah

Seorang blogger bercerita dalam blognya tentang pengalamannya berupaya untuk shalat khusyu,’ setelah ia membaca sebuah buku tentang tuntunan shalat khusyu’ yang sekarang sedang popular. Setelah beberapa kali merasa gagal, pada suatu kali shalat subuh tercapai juga apa yang ia ingin rasakan. Shalat dua rakaat itu tanpa terasa ia lakukan sangat lama dari biasanya.

Untuk pertama kalinya ia merasa larut dalam shalatnya, merasakan kehadiran Allah, Merasakan bahwa ruhnya turut shalat bersama jasadnya. Merasakan keagungan Allah dan kerendahan diri. Air mata meleleh. Tangisan tulus dari ruh yang turut shalat, bertakbir, bergerak dan membaca sebagaimana yang dilakukan jasad. Ia merasakan shalatnya kali ini betul-betul dilaksanakan dengan tuma’ninah.

Tulisan itu mendapat lebih dari seratus tiga puluh respon yang pada umumnya menyatakan senang dengan tulisan sang blogger.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mewajibkan umatnya untuk membaca surat-surat yang sangat panjang dalam shalat seperti yang beliau lakukan pada shalat malam (tahajjud). Siapa pun boleh memilih surat panjang atau pendek untuk ia baca di dalam shalatnya, terutama jika shalat dilakukan sendirian seperti pada umumnya shalat sunnah.

Akan tetapi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam betul-betul berpesan agar bersungguh-sungguh mendirikan shalat; yaitu shalat yang dilakukan bukan sekedar melaksanakan kewajiban, tetapi shalat dengan sepenuh jiwa sehingga ia mampu mencegah pelaksananya dari perbuatan buruk, keji dan munkar, dan mendorongnya untuk berbuat baik. Kualitas shalat seperti ini hanya akan diperoleh jika dilakukan dengan khusyu’. Untuk memperoleh khusyu’ itulah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat tentang satu hal: tuma’ninah.
Apakah tuma’ninah itu? Ia adalah sikap diam sejenak dan tenang setiap kali seorang yang sedang shalat (mushalli) sudah melaksanakan suatu gerakan shalat dan/ atau membaca suatu bacaan. Tujuannya adalah agar pikiran yang ada dalam dirinya ikut bergerak juga bersama gerakan badan, dan ikut membaca serta memahami bacaan yang dibaca.

Gerakan-gerakan shalat adalah simbol-simbol ketundukkan, ketaatan pada Yang Maha Agung, jika jiwa tidak ikut serta, maka ia hanya merupakan gerakan-gerakan kosong tanpa makna. Sedangkan bacaan adalah nasihat-nasihat yang menunjuki dan menguatkan jiwa. Jika jiwa sendiri tidak turut membacanya dengan tulus, maka bacaan itu menjadi seperti igauan tanpa dimengerti oleh orang yang mengucapkannya sendiri karena ia tidak sadar ketika mengucapkannya. Di sinilah esensinya.

Bagaimana Menghadirkan Tuma’ninah?

•    Memahami
Memahami bacaan-bacaan yang hendak dibaca dalam shalat. Orang yang tidak memahami ucapan yang diucapkannya tidak mungkin dapat meresapi makna-makna yang terkandung di dalamnya. Bagaimana mungkin makna-makna itu akan memengaruhi jiwanya, apalagi membangkitkannya? Memahami arti bacaan-bacaan shalat yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang memang nota bene dalam bahasa Arab, haruslah diupayakan dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati.
Membaca terjemahan bacaan tersebut dalam bahasa yang kita mengerti dalam ‘shalat’ tidaklah dinamakan shalat, karena shalat adalah gerakan-gerakan tertentu dan bacaan-bacaan tertentu yang dicontohkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Membaca terjemahannya tentu tidak pernah dicontohkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Begitu pun jika seseorang membaca bacaan dalan bahasa Arab, tetapi bukan seperti yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka itu pun bukanlah shalat meskipun dalam bahasa Arab. Jadi intinya bukan bahasa Arab atau tidak, tetapi apakah sesuai dengan tuntunan shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau tidak? Jika sesuai, maka itulah shalat.
Memenuhi syarat-syarat sahnya shalat, seperti berwudhu, menutup aurat, dan menghadap kiblat, serta menyadari makna semua itu bagi jiwa.

•    Berwudhu
Berwudhu adalah bersuci. Menyucikan badan agar menghadap Allah dalam keadaan suci. Hendaknya ketika berwudhu, jiwa pun ikut ‘berwudhu’ dan meresapi makna menyucikan diri. Jika badan bersuci dari kotoran-kotoran material, maka jiwa bersuci dari kotoran-kotoran jiwa.
Ibnu Qudamah, seorang ulama terkenal di zamannya, mengatakan bahwa bersuci mempunyai empat tingkatan, yaitu:
1.    Menyucikan fisik dari hadats (kotoran)
2.    Menyucikan diri dari perbuatan dosa dan maksiat
3.    Menyucikan diri dari akhlak tercela dan menghinakan diri, dan
4.    Menyucikan jiwa dari hal-hal selain Allah, meskipun sangat tersembunyi.
Karena menyadari hal inilah maka Ali bin Hasan, seorang yang dikenal shalih di zamannya, senantiasa berubah warna wajahnya setiap kali berwudhu. Menjadi kekuning-kuningan karena sangat pucat. Ketika ada yang bertanya kepadanya, Mengapa hal ini selalu terjadi kepadamu saat engkau berwudhu?” Dia menjawab, “Tahukah kalian, di hadapan siapakah aku hendak mendirikan shalat?”

•    Menutup Aurat
Menutup aurat bukan hanya syarat dalam shalat, tapi ia juga merupakan kewajiban dalam agama sebagaimana kewajiban lainnya, seperti shalat sendiri. Jika aurat-aurat fisik ditutup dengan tujuan menjaga kehormatan karena aurat adalah aib yang harus ditutupi, bagaimana dengan aib-aib hati dan jiwa? Kita sangat berkepentingan agar aib-aib diri kita Allah tutupi bukan? Maka setiap kali menutup aurat –terutama ketika shalat-, hendaklah kita menyadari aib-aib hati kita tersebut dan merasa menyesal dan malu kepada Allah karena Ia mengetahui semua aib batin kita itu. Lalu kita memohon agar Allah menutupi aib-aib tersebut sekaligus menggantinya dengan yang lebih baik.

•    Menghadap Kiblat
Menghadap kiblat adalah simbol bagi jiwa untuk menghadap Allah, karena Allahlah yang menetapkan kiblat sebagai baitullah, menjadi arah bagi orang-orang yang shalat. Dengan demikian, jiwa dan pikiran dituntun untuk menghadap kepada Allah, dan berpaling dari hal-hal lain selain Allah.

•    Menyiapkan diri untuk berdialog dengan Allah, Pencipta kita, Pencipta alam raya yang disediakan untuk kebutuhan manusia, Yang telah meniupkan ruh ke dalam jasad kita ketika masih dalam kandungan, Yang memberikan anggota tubuh yang normal kepada kita sehingga kita tidak kesulitan dalam menjalani hidup, dan Yang mengabulkan do’a-do’a kita jika kita berdoa kepada-Nya. Dengan Zat inilah kita akan bertemu dan berdialog. Merasakan kehadiran-Nya meski kita tidak mampu melihatnya. Ia melihat kita, bahkan sampai ke isi hati kita, hal yang para malaikat pun tidak tahu. Tentang hal ini, ayat-ayat Al Qur’an dan hadits berikut dapat menjadi renungan.
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (wahai Muhammad) tentang Aku, maka Aku adalah dekat, Aku mengabulkan doa seseorang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka menjawab seruan-Ku, dan berimanlah kepada-Ku agar mereka memperoleh petujuk…” (QS Al Baqarah, 2: 186)
“Sungguh Kami telah menciptakan manusia dan Kami mengetahui apa yang dibisikkan jiwanya; dan Kami lebih dekat kepadanya dari urat lehernya.”(QS Qaaf, 50: 16). Sebuah kiasan yang menjelaskan betapa dekatnya penglihatan Allah dan betapa terperincinya pengetahuan-Nya, bahkan tentang isi hati seluruh hamba-Nya.
Dalam sebuah hadits panjang yang diriwayatkan Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu digambarkan tentang makna ihsan dalam beribadah adalah an ta’budallaha ka-annaka tarohu, fa inlam takun tarohu, fainnahu yaroka, kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya. Meskipun kamu tidak dapat melihat-Nya, Ia melihatmu.” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)
•    Menghadirkan kesadaran dalam pikiran bahwa yang akan kita temui dalam shalat adalah Zat Yang Maha Agung, dan bahwa diri kita adalah makhluk kerdil di hadapan-Nya yang sangat tergantung kepada-Nya. Hal ini jika dilakukan sejak sebelum shalat dimulai, akan membantu menghadirkan ketenangan dan kekhusyu’an serta mempertahankan keduanya sepanjang shalat nantinya.

Menghadirkan Tuma’ninah Dalam Shalat
Dengan terus berupaya merasakan kehadiran Allah, tuma’ninah akan dirasakan setelah upaya terus-menerus -sepanjang shalat- untuk terus menyatukan jiwa dengan fisik. Jiwa seringkali lebih lambat dari pada fisik karena ia terbebani berbagai pikiran dan persoalan hidup. Maka seorang yang hendak memperoleh kekhusyu’an dalam shalat, ia harus sabar untuk terus berupaya mengajak jiwanya kepada shalat, dan bersabar ketika sang jiwa seringkali terlambat ‘memenuhi’ ajakan itu.

Ketika lidah mengucapkan Allahu akbar, yang bermakna “Allah Maha Besar,” diamlah sejenak dan berilah waktu kepada jiwa untuk mengikuti ucapan lidah, mengagungkan Allah. Karena jika lidah bertakbir sementara pikiran masih mengarah kepada selain Allah, maka pada saat itu sebenarnya sang hati memandang hal selain Allah tersebut lebih besar kepentingannya dari pada menghadap Allah, sehingga lebih perlu dipikirkan. Maka bagaimanakah Allah akan menuntun dan menolong kita jika setiap kali menghadap-Nya, setiap kali itu pula kita tidak menganggap-Nya penting. Ucapan ‘Allahu akbar’ hanya di lidah.

Upaya menyadari hal ini akan membantu jiwa kita agar ia juga mengagungkan Allah dengan tulus bersamaan dengan lidah ketika mengucapkannya. Setelah lidah mengucapkannya, berilah waktu kepada jiwa untuk merasakan maknanya.

Ketika mengangkat tangan bersamaan dengan bertakbirnya lidah, berikan waktu kepada jiwa untuk juga ‘mengangkat tangannya’. Hal ini memerlukan sikap diam sejenak setelah gerakan tangan.

Ketika membaca bacaan-bacaan shalat, bacalah perlahan, dan sebagian-sebagian. Tiap kali membaca bagian bacaan tersebut, berilah waktu kepada jiwa untuk juga membacanya, memahami maknanya, dan membenarkannya. Hal ini pun memerlukan sikap diam agar pikiran bekerja untuk itu semua.
Setelah membaca a’udzulillahi minasy syaithanirrajim, diamlah sejenak, biarkan jiwa kita merasakan bahwa ia sedang berbicara kepada Allah, memohon perlindungan kepada-Nya dari bermacam bentuk gangguan syetan saat itu sibuk membisiki kita ini dan itu dan mengingatkan kita akan persoalan ini dan urusan itu. Biarkan jiwa betul-betul mohon perlindungan Allah.

Ketika membaca bismillahirrahmanirrahim, rasakanlah bahwa jiwa kita sedang melaksanakan shalat ini dengan nama-Nya yang Maha Pemurah dan Penyayang, dan bahwa seharusnya seperti itulah kita mamulai segala sesuatu dalam hidup. Memulainya dengan basmallah. Jika jiwa kita belum mengikuti bacaan tersebut dan meresapi maknanya, tunggulah sampai ia melaksanakannya.

Pada saat mengucapkan alhamdulillhi rabbil ‘alamin, rasakanlah bahwa hati kita benar-benar memuji Allah dengan penuh ketulusan dan kesadaran bahwa segala pujian itu memang hanya layak ditujukan kepada-Nya. Beri waktu kepada jiwa kita untuk merasakan makna bahwa Allah itu Rabb alam semesta yang luas dan besarnya tak terkira ini. Begitu pula ketika membaca ayat-ayat selanjutnya.

Pada saat membaca iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in, berilah saat di mana ruh kita merasakan makna bahwa kita –jasad dan ruh kita-, sungguh-sungguh hanya menyembah, mengabdi kepada Allah, lalu benar-benar hanya kepada-Nya kita meminta pertolongan. Hendaklah kita meresapi betul makna pengabdian dan permohonan ini.

Bersamaan dengan pengucapan ihdinashshirathal mustaqim, biarkanlah jiwa kita mengungkapkan permohonannya akan petunjuk ke jalan yang lurus dalam hidup ini, sebab alangkah banyaknya hal-hal yang dapat memalingkan langkah kita dari jalan yang benar. Maka kita sangat memerlukan petunjuk Allah dalam menghadapi hal sekecil apa pun. Begitulah ayat-ayat dibaca satu persatu dengan tenang, diselingi diam sejenak agar ruh kita mampu mengikutinya.

Ketika ruku’, rasakanlah tawadhu’ (kerendahhatian) dan ketundukkan di hadapan Allah yang Maha Besar, sebagaimana sikap fisik dan ucapan lidah kita saat itu. Dan ketika sujud, berilah waktu kepada jiwa untuk merasakan kerendahan diri kita di hadapan keagungan-Nya; menyadari bahwa kita berasal dari tanah, bumi tempat kita meletakkan wajah kita ketika sujud itu.
Pada saat membaca do’a di antara dua sujud, bacalah satu persatu secara perlahan diselingin diam sejenak. Rabbighfirli…, biarkanlah ruh merintih kepada Allah dengan merasakan makna do’a-do’a itu, “Wahai Rabb, ampunilah aku…,” warhamni…, “sayangilah aku…”, dan seterusnya.
Membaca perlahan dengan upaya merasakan makna yang ada di dalam bacaan tersebut, diselingi dia sejenak untuk memberikan waktu kepada ruh agar dapat berinteraksi dengan makna-makna itu, itulah tuma’ninah dalam membaca bacaan shalat. Hendaklah hal ini dilakukan pada semua bacaan shalat, baik surat-surat dari Al Qur’an, puji-pujian, maupun bacaan yang berisi do’a dan permohonan.
Jika ini dilakukan, maka shalat yang dilaksanakan akan benar-benar bermakna bagi jiwa, karena ia diberi kesempatan untuk turut melaksanakan shalat dan meresapi setiap makna gerakan dan bacaannya. Karena jiwalah yang mampu melakukan itu, sedang fisik tidak.
Dapat dimengerti jika seseorang melaksanakan shalat selalu dengan terburu-buru, ingin cepat selesai, tidak memberi kesempatan kepada ruhnya untuk shalat bersamanya, maka shalatnya itu tidak membawa pengaruh apa-apa pada jiwanya. Padahal perubahan kea rah yang lebih baik itu dating dari jiwa, sedangkan fisik hanya pelaksana saja. Maka tak heran jika shalat itu tak membawa ketenangan dalam hidup.

Upaya Sesudah Shalat
•    Mengusir si Putus Asa
Jika pada kenyataannya selama ini jiwa kita hampir tidak pernah diajak untuk turut melaksanakan bersama jasad kita, maka perlu kesabaran yang terus-menerus agar dapat mengajaknya shalat bersama jasad kita. Kegagalan sangat mungkin terjadi pada awal upaya, namun kita harus mampu mengusir jauh-jauh rasa putus asa dari jiwa kita. Keberhasilah itu pada umumnya datang  setelah kegagalan datang. Kadang beberapa, kadang puluhan, ratusan, bahkan mungkin ribuan.
Ibunda Nabi Ismail ‘alaihissalam, Hajar, berlari antara bukit Shafa dan Marwah sampai tujuh kali bolak-balik untuk mencari air agar dapat memberi bayinya, Ismail, minum. Baru setelah kali ketujuh itulah Allah memancarkan air dekat sang bayi.
Dalam Al Qur’an, Allah mengisahkan pesan Nabi Ya’kub ‘alaihissalam kepada anak-anaknya agar tidak berputus asa. “…dan janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tidak akan seseorang itu berputus asa kecuali kaum yang ingkar (kafir).” (QS. Yusuf, 12: 87)
•    Berdo’a Agar Dimudahkan Untuk Khusyu’ Dalam Shalat
Sebagaimana kebutuhan-kebutuhan hidup lainnya kita dapat meminta kepada Allah  dengan do’a, begitu pula kebutuhan shalat khusyu’. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan sebuah do’a tentang hal ini, berbunyi: Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatika (Ya Allah, bantulah aku agar dapat berdzikir menyebut nama-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu). Do’a ini dianjurkan dibaca setiap kali selesai shalat.

Wallahu a’lam bishshawab
Naskah : Eka Zulkarnain dan Rina Abdul Latif
Menemukan Kebahagiaan dalam Shalat Khusyu’

Banyak orang menghamburkan uang untuk mencari kebahagiaan yang ternyata semu dan sementara. Mengapa tidak menemukan kebahagiaan sejati dalam shalat yang khusyu’?

Shalat adalah sendi agama dan pangkal ketaatan. Di antara adabnya yang paling bagus adalah khusyu’. Diriwayatkan dari Utsman bin Affan Radhiyallahu  ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, yang artinya: “Tidaklah tiba waktu shalat fardhu kepada seseorang, lalu ia membaguskan wudhu’nya, khusyu’nya dan ruku’nya, melainkan shalat itu menjadi penebus dosa-dosanya yang telah lampau, selagi dia tidak mengerjakan dosa besar, dan yang demikian itu berlaku seterusnya.”( Hadits riwayat Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits lain dari Utsman bin ‘Affan juga, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, yang artinya: “Barang siapa shalat dua rakaat, sedang ia tidak mengajak jiwanya bercakap-cakap ketika shalat itu, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.”(Hadits riwayat Bukhari dan Muslim).

Kekhusyu’an Terbaik
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, salah seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu shalat malam sampai kakinya bengkak. Kemudian ‘Aisyah bertanya, “Mengapa engkau melakukannya sampai begini, padahal dosa-dosamu sudah diampuni Allah?” Maka beliau menjawab, “Afala akuna ‘abdan syakuran?” (Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang bersyukur?) (Hadits riwayat Ibnu Majah).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat malam (sunnah tahajjud) sendirian, bukan main lamanya, tetapi jika shalat fardhu di masjid berjama’ah, beliau mempercepat shalatnya –dengan tetap tuma’ninah- karena memahami keadaan makmumnya yang beragam.
Diriwayatkan dari Muthrif bin Abdillah, anak salah seorang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa bapaknya berkata, “Aku pernah mendatangi Rasulullah, waktu itu aku dapati beliau sedang shalat. Dan aku mendengar tangisnya seperti orang merintih.” (Hadits riwayat Abu Daud)
Salah seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Huzaifah Ibnul Yaman berkata, “Aku pernah shalat bersama Nabi (shalat malam). Beliau membaca surat Al Baqarah, lalu ruku’ ketika sampai pada ayatnya yang ke seratus. Lalu bangun dan menamatkannya (sampai ayat 286) pada rakaat kedua. Kemudian bangun lagi dan membaca Ali Imran, lalu An Nisa. Kalau ada ayat tasbih, beliau bertasbih; kalau ada membaca ayat do’a, beliau berdoa. Lalu ruku’ lama sekali, seakan-akan sama dengan satu rakaat, lalu bangun dan diam agak lama kemudian sujud lama sekali, hampi sama dengan bangunnya.” (Hadits riwayat Bukhari). Berarti pada malam itu beliau membaca lebih dari lima juz dalam shalat.
Salah satu sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abdullah bin Az Zubair, apabila ia sedang shalat, maka seakan-akan dia adalah sebatang pohon karena khusyu’nya. Saat dia sujud lalu ada beberapa ekor burung yang hinggap di punggungnya, maka hal itu tidak membuatnya terusik. Sampai dikatakan bahwa yang bisa mengusiknya adalah jika dia ditimpa runtuhan dinding.
Maimun bin Mahran, seorang shalih dari umat yang terdahulu, mengisahkan bagaimana shalatnya seorang tokoh ulama shalih lainnya di zamannya, yaitu Muslim bin Yassar.
Katanya, “Sekali pun aku tidak pernah melihat Muslim bin Yassar menoleh saat melaksanakan shalat. Suatu kali sebagian bangunan masjid ada yang roboh sehingga orang-orang yang berada di pasar menjadi kaget karenanya. Sementara saat itu pula Muslim bin Yassar berada di dalam masjid sedang shalat, tapi dia sama sekali tidak menoleh….”                                                   
Bagaimana orang-orang shalih tersebut larut dalam shalat mereka? Orang-orang  yang larut dalam sesuatu adalah mereka yang merasa senang dan bahagia dalam sesuatu itu. Bagaimanakah shalat, ibadah yang merupakan pangkal ketaatan -setelah dua kalimat syahadat- dapat menjadi sesuatu yang menjadi sumber rasa bahagia dan menyenangkan bagi orang-orang tersebut?
Sementara kebahagiaan yang diperoleh secara terus-menerus dari apa yang dilakukan secara berkesinambungan, akan menguatkan mental dan mengokohkan kepribadian. Rasa bahagia yang masuk ke dalam jiwa bersifat alami, apa adanya dan sejati, selama sesuatu itu bukan hal yang merusak seperti narkoba.
Lain halnya dengan narkoba yang secara fisik merusak, yang daya rusaknya menjalar ke otak sehingga ia juga merusak pikiran. Jelas rasa ‘bahagia’ yang ditimbulkannya hanyalah semu, sesaat, setelah itu adalah kesakitan yang luar biasa dan kerusakan parah pada tubuh, hardware dan sofwarenya sekaligus. Sejatinya adalah kesengsaraan. Keduanya bertolak belakang seratus delapan puluh derajat!
Bagaimanakah sebuah rangkaian gerakan, bacaan, dalam sistem iman kepada Allah, mampu membuat seseorang merasa sangat bahagia sehingga ia bisa larut di dalamnya? Sementara tidak sedikit orang yang tidak merasakan apa-apa sesudah melaksanakannya kecuali perasaan yang mengatakan, “Ah, tenang sudah shalat, gak ada beban lagi kalo mau ngapa-ngapain.”
Bahkan ada pula yang merasakan shalat itu beban sehingga jiwanya berbisik, ‘Nanti sajalah dilaksanakan kalau saya sudah tua’, padahal realita mengatakan bahwa Allah ‘memanggil’ hamba-hamba-Nya bukan hanya dari kalangan usia lanjut, tetapi juga orang muda, remaja, anak-anak, bahkan bayi yang baru lahir.

Rahasia Tuma’ninah
Seorang blogger bercerita dalam blognya tentang pengalamannya berupaya untuk shalat khusyu’, setelah ia membaca sebuah buku tentang tuntunan shalat khusyu’ yang sekarang sedang popular. Setelah beberapa kali merasa gagal, pada suatu kali shalat subuh tercapai juga apa yang ia ingin rasakan. Shalat dua rakaat itu tanpa terasa ia lakukan sangat lama dari biasanya.
Untuk pertama kalinya ia merasa larut dalam shalatnya, merasakan kehadiran Allah, Merasakan bahwa ruhnya turut shalat bersama jasadnya. Merasakan keagungan Allah dan kerendahan diri. Air mata meleleh. Tangisan tulus dari ruh yang turut shalat, bertakbir, bergerak dan membaca sebagaimana yang dilakukan jasad. Ia merasakan shalatnya kali ini betul-betul dilaksanakan dengan tuma’ninah.
Tulisan itu mendapat lebih dari seratus tiga puluh respon yang pada umumnya menyatakan senang dengan tulisan sang blogger.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mewajibkan umatnya untuk membaca surat-surat yang sangat panjang dalam shalat seperti yang beliau lakukan pada shalat malam (tahajjud). Siapa pun boleh memilih surat panjang atau pendek untuk ia baca di dalam shalatnya, terutama jika shalat dilakukan sendirian seperti pada umumnya shalat sunnah.
Akan tetapi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam betul-betul berpesan agar bersungguh-sungguh mendirikan shalat; yaitu shalat yang dilakukan bukan sekedar melaksanakan kewajiban, tetapi shalat dengan sepenuh jiwa sehingga ia mampu mencegah pelaksananya dari perbuatan buruk, keji dan munkar, dan mendorongnya untuk berbuat baik. Kualitas shalat seperti ini hanya akan diperoleh jika dilakukan dengan khusyu’. Untuk memperoleh khusyu’ itulah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat tentang satu hal: tuma’ninah.
Apakah tuma’ninah itu? Ia adalah sikap diam sejenak dan tenang setiap kali seorang yang sedang shalat (mushalli) sudah melaksanakan suatu gerakan shalat dan/ atau membaca suatu bacaan. Tujuannya adalah agar pikiran yang ada dalam dirinya ikut bergerak juga bersama gerakan badan, dan ikut membaca serta memahami bacaan yang dibaca.
Gerakan-gerakan shalat adalah simbol-simbol ketundukkan, ketaatan pada Yang Maha Agung, jika jiwa tidak ikut serta, maka ia hanya merupakan gerakan-gerakan kosong tanpa makna. Sedangkan bacaan adalah nasihat-nasihat yang menunjuki dan menguatkan jiwa. Jika jiwa sendiri tidak turut membacanya dengan tulus, maka bacaan itu menjadi seperti igauan tanpa dimengerti oleh orang yang mengucapkannya sendiri karena ia tidak sadar ketika mengucapkannya. Di sinilah esensinya.

Bagaimana Menghadirkan Tuma’ninah?

•    Memahami
Memahami bacaan-bacaan yang hendak dibaca dalam shalat. Orang yang tidak memahami ucapan yang diucapkannya tidak mungkin dapat meresapi makna-makna yang terkandung di dalamnya. Bagaimana mungkin makna-makna itu akan memengaruhi jiwanya, apalagi membangkitkannya? Memahami arti bacaan-bacaan shalat yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang memang nota bene dalam bahasa Arab, haruslah diupayakan dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati.
Membaca terjemahan bacaan tersebut dalam bahasa yang kita mengerti dalam ‘shalat’ tidaklah dinamakan shalat, karena shalat adalah gerakan-gerakan tertentu dan bacaan-bacaan tertentu yang dicontohkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Membaca terjemahannya tentu tidak pernah dicontohkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Begitu pun jika seseorang membaca bacaan dalan bahasa Arab, tetapi bukan seperti yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka itu pun bukanlah shalat meskipun dalam bahasa Arab. Jadi intinya bukan bahasa Arab atau tidak, tetapi apakah sesuai dengan tuntunan shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau tidak? Jika sesuai, maka itulah shalat.
Memenuhi syarat-syarat sahnya shalat, seperti berwudhu, menutup aurat, dan menghadap kiblat, serta menyadari makna semua itu bagi jiwa.

•    Berwudhu
Berwudhu adalah bersuci. Menyucikan badan agar menghadap Allah dalam keadaan suci. Hendaknya ketika berwudhu, jiwa pun ikut ‘berwudhu’ dan meresapi makna menyucikan diri. Jika badan bersuci dari kotoran-kotoran material, maka jiwa bersuci dari kotoran-kotoran jiwa.
Ibnu Qudamah, seorang ulama terkenal di zamannya, mengatakan bahwa bersuci mempunyai empat tingkatan, yaitu:
1.    Menyucikan fisik dari hadats (kotoran)
2.    Menyucikan diri dari perbuatan dosa dan maksiat
3.    Menyucikan diri dari akhlak tercela dan menghinakan diri, dan
4.    Menyucikan jiwa dari hal-hal selain Allah, meskipun sangat tersembunyi.
Karena menyadari hal inilah maka Ali bin Hasan, seorang yang dikenal shalih di zamannya, senantiasa berubah warna wajahnya setiap kali berwudhu. Menjadi kekuning-kuningan karena sangat pucat. Ketika ada yang bertanya kepadanya, Mengapa hal ini selalu terjadi kepadamu saat engkau berwudhu?” Dia menjawab, “Tahukah kalian, di hadapan siapakah aku hendak mendirikan shalat?”

•    Menutup Aurat
Menutup aurat bukan hanya syarat dalam shalat, tapi ia juga merupakan kewajiban dalam agama sebagaimana kewajiban lainnya, seperti shalat sendiri. Jika aurat-aurat fisik ditutup dengan tujuan menjaga kehormatan karena aurat adalah aib yang harus ditutupi, bagaimana dengan aib-aib hati dan jiwa? Kita sangat berkepentingan agar aib-aib diri kita Allah tutupi bukan? Maka setiap kali menutup aurat –terutama ketika shalat-, hendaklah kita menyadari aib-aib hati kita tersebut dan merasa menyesal dan malu kepada Allah karena Ia mengetahui semua aib batin kita itu. Lalu kita memohon agar Allah menutupi aib-aib tersebut sekaligus menggantinya dengan yang lebih baik.

•    Menghadap Kiblat
Menghadap kiblat adalah simbol bagi jiwa untuk menghadap Allah, karena Allahlah yang menetapkan kiblat sebagai baitullah, menjadi arah bagi orang-orang yang shalat. Dengan demikian, jiwa dan pikiran dituntun untuk menghadap kepada Allah, dan berpaling dari hal-hal lain selain Allah.

•    Menyiapkan diri untuk berdialog dengan Allah, Pencipta kita, Pencipta alam raya yang disediakan untuk kebutuhan manusia, Yang telah meniupkan ruh ke dalam jasad kita ketika masih dalam kandungan, Yang memberikan anggota tubuh yang normal kepada kita sehingga kita tidak kesulitan dalam menjalani hidup, dan Yang mengabulkan do’a-do’a kita jika kita berdoa kepada-Nya. Dengan Zat inilah kita akan bertemu dan berdialog. Merasakan kehadiran-Nya meski kita tidak mampu melihatnya. Ia melihat kita, bahkan sampai ke isi hati kita, hal yang para malaikat pun tidak tahu. Tentang hal ini, ayat-ayat Al Qur’an dan hadits berikut dapat menjadi renungan.
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (wahai Muhammad) tentang Aku, maka Aku adalah dekat, Aku mengabulkan doa seseorang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka menjawab seruan-Ku, dan berimanlah kepada-Ku agar mereka memperoleh petujuk…” (QS Al Baqarah, 2: 186)
“Sungguh Kami telah menciptakan manusia dan Kami mengetahui apa yang dibisikkan jiwanya; dan Kami lebih dekat kepadanya dari urat lehernya.”(QS Qaaf, 50: 16). Sebuah kiasan yang menjelaskan betapa dekatnya penglihatan Allah dan betapa terperincinya pengetahuan-Nya, bahkan tentang isi hati seluruh hamba-Nya.
Dalam sebuah hadits panjang yang diriwayatkan Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu digambarkan tentang makna ihsan dalam beribadah adalah an ta’budallaha ka-annaka tarohu, fa inlam takun tarohu, fainnahu yaroka, kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya. Meskipun kamu tidak dapat melihat-Nya, Ia melihatmu.” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)
•    Menghadirkan kesadaran dalam pikiran bahwa yang akan kita temui dalam shalat adalah Zat Yang Maha Agung, dan bahwa diri kita adalah makhluk kerdil di hadapan-Nya yang sangat tergantung kepada-Nya. Hal ini jika dilakukan sejak sebelum shalat dimulai, akan membantu menghadirkan ketenangan dan kekhusyu’an serta mempertahankan keduanya sepanjang shalat nantinya.

Menghadirkan Tuma’ninah Dalam Shalat
Dengan terus berupaya merasakan kehadiran Allah, tuma’ninah akan dirasakan setelah upaya terus-menerus -sepanjang shalat- untuk terus menyatukan jiwa dengan fisik. Jiwa seringkali lebih lambat dari pada fisik karena ia terbebani berbagai pikiran dan persoalan hidup. Maka seorang yang hendak memperoleh kekhusyu’an dalam shalat, ia harus sabar untuk terus berupaya mengajak jiwanya kepada shalat, dan bersabar ketika sang jiwa seringkali terlambat ‘memenuhi’ ajakan itu.
Ketika lidah mengucapkan Allahu akbar, yang bermakna “Allah Maha Besar,” diamlah sejenak dan berilah waktu kepada jiwa untuk mengikuti ucapan lidah, mengagungkan Allah. Karena jika lidah bertakbir sementara pikiran masih mengarah kepada selain Allah, maka pada saat itu sebenarnya sang hati memandang hal selain Allah tersebut lebih besar kepentingannya dari pada menghadap Allah, sehingga lebih perlu dipikirkan. Maka bagaimanakah Allah akan menuntun dan menolong kita jika setiap kali menghadap-Nya, setiap kali itu pula kita tidak menganggap-Nya penting. Ucapan ‘Allahu akbar’ hanya di lidah.
Upaya menyadari hal ini akan membantu jiwa kita agar ia juga mengagungkan Allah dengan tulus bersamaan dengan lidah ketika mengucapkannya. Setelah lidah mengucapkannya, berilah waktu kepada jiwa untuk merasakan maknanya.
Ketika mengangkat tangan bersamaan dengan bertakbirnya lidah, berikan waktu kepada jiwa untuk juga ‘mengangkat tangannya’. Hal ini memerlukan sikap diam sejenak setelah gerakan tangan.
Ketika membaca bacaan-bacaan shalat, bacalah perlahan, dan sebagian-sebagian. Tiap kali membaca bagian bacaan tersebut, berilah waktu kepada jiwa untuk juga membacanya, memahami maknanya, dan membenarkannya. Hal ini pun memerlukan sikap diam agar pikiran bekerja untuk itu semua.
Setelah membaca a’udzulillahi minasy syaithanirrajim, diamlah sejenak, biarkan jiwa kita merasakan bahwa ia sedang berbicara kepada Allah, memohon perlindungan kepada-Nya dari bermacam bentuk gangguan syetan saat itu sibuk membisiki kita ini dan itu dan mengingatkan kita akan persoalan ini dan urusan itu. Biarkan jiwa betul-betul mohon perlindungan Allah.
Ketika membaca bismillahirrahmanirrahim, rasakanlah bahwa jiwa kita sedang melaksanakan shalat ini dengan nama-Nya yang Maha Pemurah dan Penyayang, dan bahwa seharusnya seperti itulah kita mamulai segala sesuatu dalam hidup. Memulainya dengan basmallah. Jika jiwa kita belum mengikuti bacaan tersebut dan meresapi maknanya, tunggulah sampai ia melaksanakannya.
Pada saat mengucapkan alhamdulillhi rabbil ‘alamin, rasakanlah bahwa hati kita benar-benar memuji Allah dengan penuh ketulusan dan kesadaran bahwa segala pujian itu memang hanya layak ditujukan kepada-Nya. Beri waktu kepada jiwa kita untuk merasakan makna bahwa Allah itu Rabb alam semesta yang luas dan besarnya tak terkira ini. Begitu pula ketika membaca ayat-ayat selanjutnya.
Pada saat membaca iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in, berilah saat di mana ruh kita merasakan makna bahwa kita –jasad dan ruh kita-, sungguh-sungguh hanya menyembah, mengabdi kepada Allah, lalu benar-benar hanya kepada-Nya kita meminta pertolongan. Hendaklah kita meresapi betul makna pengabdian dan permohonan ini.
Bersamaan dengan pengucapan ihdinashshirathal mustaqim, biarkanlah jiwa kita mengungkapkan permohonannya akan petunjuk ke jalan yang lurus dalam hidup ini, sebab alangkah banyaknya hal-hal yang dapat memalingkan langkah kita dari jalan yang benar. Maka kita sangat memerlukan petunjuk Allah dalam menghadapi hal sekecil apa pun. Begitulah ayat-ayat dibaca satu persatu dengan tenang, diselingi diam sejenak agar ruh kita mampu mengikutinya.
Ketika ruku’, rasakanlah tawadhu’ (kerendahhatian) dan ketundukkan di hadapan Allah yang Maha Besar, sebagaimana sikap fisik dan ucapan lidah kita saat itu. Dan ketika sujud, berilah waktu kepada jiwa untuk merasakan kerendahan diri kita di hadapan keagungan-Nya; menyadari bahwa kita berasal dari tanah, bumi tempat kita meletakkan wajah kita ketika sujud itu.
Pada saat membaca do’a di antara dua sujud, bacalah satu persatu secara perlahan diselingin diam sejenak. Rabbighfirli…, biarkanlah ruh merintih kepada Allah dengan merasakan makna do’a-do’a itu, “Wahai Rabb, ampunilah aku…,” warhamni…, “sayangilah aku…”, dan seterusnya.
Membaca perlahan dengan upaya merasakan makna yang ada di dalam bacaan tersebut, diselingi dia sejenak untuk memberikan waktu kepada ruh agar dapat berinteraksi dengan makna-makna itu, itulah tuma’ninah dalam membaca bacaan shalat. Hendaklah hal ini dilakukan pada semua bacaan shalat, baik surat-surat dari Al Qur’an, puji-pujian, maupun bacaan yang berisi do’a dan permohonan.
Jika ini dilakukan, maka shalat yang dilaksanakan akan benar-benar bermakna bagi jiwa, karena ia diberi kesempatan untuk turut melaksanakan shalat dan meresapi setiap makna gerakan dan bacaannya. Karena jiwalah yang mampu melakukan itu, sedang fisik tidak.
Dapat dimengerti jika seseorang melaksanakan shalat selalu dengan terburu-buru, ingin cepat selesai, tidak memberi kesempatan kepada ruhnya untuk shalat bersamanya, maka shalatnya itu tidak membawa pengaruh apa-apa pada jiwanya. Padahal perubahan kea rah yang lebih baik itu dating dari jiwa, sedangkan fisik hanya pelaksana saja. Maka tak heran jika shalat itu tak membawa ketenangan dalam hidup.

Upaya Sesudah Shalat
•    Mengusir si Putus Asa
Jika pada kenyataannya selama ini jiwa kita hampir tidak pernah diajak untuk turut melaksanakan bersama jasad kita, maka perlu kesabaran yang terus-menerus agar dapat mengajaknya shalat bersama jasad kita. Kegagalan sangat mungkin terjadi pada awal upaya, namun kita harus mampu mengusir jauh-jauh rasa putus asa dari jiwa kita. Keberhasilah itu pada umumnya datang  setelah kegagalan datang. Kadang beberapa, kadang puluhan, ratusan, bahkan mungkin ribuan.
Ibunda Nabi Ismail ‘alaihissalam, Hajar, berlari antara bukit Shafa dan Marwah sampai tujuh kali bolak-balik untuk mencari air agar dapat memberi bayinya, Ismail, minum. Baru setelah kali ketujuh itulah Allah memancarkan air dekat sang bayi.
Dalam Al Qur’an, Allah mengisahkan pesan Nabi Ya’kub ‘alaihissalam kepada anak-anaknya agar tidak berputus asa. “…dan janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tidak akan seseorang itu berputus asa kecuali kaum yang ingkar (kafir).” (QS. Yusuf, 12: 87)
•    Berdo’a Agar Dimudahkan Untuk Khusyu’ Dalam Shalat
Sebagaimana kebutuhan-kebutuhan hidup lainnya kita dapat meminta kepada Allah  dengan do’a, begitu pula kebutuhan shalat khusyu’. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan sebuah do’a tentang hal ini, berbunyi: Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatika (Ya Allah, bantulah aku agar dapat berdzikir menyebut nama-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu). Do’a ini dianjurkan dibaca setiap kali selesai shalat.

Wallahu a’lam bishshawab

0 komentar:

Posting Komentar

wah,, makin rajin posting,, mablous! mablous! heheh


template blog yang dulu Q ganti jeng... terlalu gelap. ni kan cerah... gmana? suka? kamu banget kan? heheh..
silahkan tinggalkan komentar di blog Q, tuh dah Q pasang di BACAANKU JUGA, "prosa hidup", smoga makin rajin nulis..
_ophy cantik..



Bukan sekedar kata, tapi nyata dan mimpi yang kurajut, menjadi udara dalam rumah cinta ku, menghidupkan kenangan di tiap ruangnya.